Dalam dunia penyakit pernapasan, masyarakat lebih mengenal penyakit bronkitis, asma, tuberkulosis (TBC), dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Padahal, ada satu penyakit paru kronis lain yang kurang dikenal meskipun cukup serius: bronkiektasis (BE). Saking kurang dikenalnya dan kurang mendapat perhatian dari komunitas medis maupun masyarakat luas, BE disebut sebagai penyakit yatim (orphan disease), maksudnya tidak ada pengayomnya. Maka itu, organisasi kesehatan paru seluruh dunia pada 2022 sepakat mencanangkan 1 Juli sebagai Hari Bronkiektasis Dunia guna merintis perhatian lebih luas kepada penyakit ini. Penulis sendiri termasuk yang ikut merayakan karena sudah mengidap penyakit ini sejak 2014.
BE sendiri menurut Perhimpunan Dokter Paru Seluruh Indonesia (PDPI) adalah "kondisi ketika saluran bronkus yang terdapat di dalam paru-paru mengalami kerusakan, penebalan, atau pelebaran permanen dan dapat terjadi pada lebih dari satu cabang bronkus" (klikpdpi.com). Akibatnya, lendir menumpuk di saluran pernapasan dan sulit dikeluarkan, sehingga bisa memicu infeksi bakteri yang memperburuk kerusakan bronkus.Â
Merujuk Living with Bronchiectasis (CHSS, 2016, www.chss.org.uk), BE memiliki lingkaran setan (vicious circle) di mana peradangan bronkus akan menyebabkan penurunan fungsi saluran napas, sehingga menyulitkan pembersihan lendir dan membuat lendir menumpuk. Pada gilirannya, penumpukan lendir akan memudahkan terjadinya kolonisasi bakteri dan infeksi. Kemudian, infeksi memicu inflamasi (peradangan) bronkus dan siklus BE kembali dimulai.
Penyakit ini secara umum tidak bisa disembuhkan (irreversible), melainkan hanya dapat ditatalaksana guna mencegah seringnya kekambuhan (eksaserbasi). Mengutip Prof Tjandra Yoga Aditama SpP (Republika, 2/7/2022), etiologi (sebab) utama BE hingga mencapai 40 persen total pasien banyak yang tidak diketahui. Sementara sisa 60 persennya terjadi karena dampak lanjutan dari TBC, PPOK, radang paru (pneumonia), dan lain sebagainya.Â
Pidato pengukuhan Guru Besar FKUI Prof. Agus Dwi Susanto SpP (11/2/2023) juga mewanti-wanti bahwa polusi udara yang kian parah saat ini bisa memicu berbagai penyakit paru, seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), TBC, asma, dan PPOK. Padahal, lanjut Prof. Agus dalam percakapan dengan penulis (19/6/2023), penyakit-penyakit itulah yang rentan mencetuskan kondisi dan eksaserbasi BE.Â
Kemudian, Prof. Menaldi Rasmin SpP mengingatkan BE di Indonesia adalah penyakit nomor 2 penyebab kondisi gagal napas akibat kekurangan oksigen (hipoksia) yang menyebabkan rawat inap di IGD, hanya berada di bawah luluh paru TBC (destroyed lung) dan di atas asma kronik (kuliah Guru Besar PDPI, 7 Desember 2020, www.youtube.com).
Sejumlah kasus BE tidak terdiagnosa dengan tepat sehingga angkanya terkesan rendah (underdiagnosed). Sesuai pengalaman penulis mengunjungi beberapa dokter, ini dikarenakan manifestasi klinis BE yang menyerupai penyakit paru lain, seperti sesak napas dan gampang letih (mirip diagnosa asma atau PPOK) dan batuk berdarah (sering dicurigai TBC). Bahkan gambaran rontgen paru kadang normal. Padahal, misdiagnosis akan membuahkan ketidaktepatan terapi.
Standar emas diagnosis BE adalah menggunakan CT-Scan beresolusi tinggi, yang kemudian akan dianalisa dokter, utamanya dokter spesialis paru (pulmonologi). Namun, perlu diingat bahwa pasien tidak boleh mendiagnosis diri sendiri (self-diagnosed) ataupun membeli obat sendiri karena kondisi tubuh dan dosis efektif setiap individu berbeda.
Yang perlu dicamkan adalah bahwa sekali terdiagnosa BE, pasien akan menjalani proses pengobatan panjang, boleh dibilang seumur hidup, yang memakan tenaga dan biaya. Pasalnya, kontrol rutin ke dokter menjadi keniscayaan mengingat sifat penyakit ini yang tak bisa disembuhkan dan berpotensi mengalami kekambuhan. Belum lagi jika harus menjalani proses laboratorium, seperti tes sputum (dahak), Rontgen, CT-Scan, spirometri (tes uji napas), bronkoskopi, dan lain sebagainya. Obat-obatan juga tentu membutuhkan biaya tersendiri. Memang, layanan JKN BPJS Kesehatan meng-cover sebagian besar biaya pengobatan dan terapi, tapi tetap saja proses berobat dan mengurus administrasi membutuhkan stamina tersendiri. Kadang juga ada obat-obatan yang tidak di-cover penuh.
Tiga Langkah Pencegahan
Karena itu, pepatah lama "lebih baik mencegah daripada mengobati" menjadi penting bagi mereka yang belum terkena BE. Setidaknya ada tiga langkah pencegahan.