Berdasarkan konsep hukum responsif, memang jika produk hukum hanya bisa mengecewakan masyarakat, itu berarti masyarakat tersebut tinggal di alam politik yang otoriter di mana penguasa atas nama negara ingin memaksakan dominasinya dan menguntungkan lingkaran elitnya sendiri. Atau setidaknya, masyarakat itu tinggal di dalam sistem otoriter yang dibungkus dengan baju demokrasi prosedural.Â
The interpreters that matter, not the law
Temuan menarik lainnya, konstitusi yang sama bisa menghasilkan konfigurasi politik yang berbeda. Misalnya, UUD 1945 yang berlaku pada 1945-1949 melahirkan konfigurasi politik yang demokratis, namun konstitusi yang sama justru melahirkan konfigurasi politik yang otoriter pada 1959-1966 (masa Demokrasi Terpimpin) dan masa Orde Baru.Â
Jadi, konsep hukum responsif ingin mengatakan bahwa konstitusi bukanlah huruf mati (dead letters), melainkan sesuatu yang bisa dibawa ke sana ke mari tergantung pada user-nya. Jadinya, it is the interpreters that matter, not the law.Â
Berbekal konsep teoretis inovatif ini, seorang hakim jadinya dimungkinkan untuk melakukan terobosan hukum demi mendapatkan keadilan substantif. Maksudnya, hakim jangan terbelenggu oleh positivisme hukum yang hanya mengedepankan aspek prosedural dari hukum tapi mengabaikan aspek substantifnya berupa keadilan. Dalam bahasa akademisnya, hakim harus dengan piawai mendamaikan antinomi berupa kepastian hukum dan keadilan hukum (Pribadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi, Rajawali, 1991).
Jika pendekatan hukum responsif bisa dikombinasikan dengan pendekatan formalistik, niscaya keputusan suatu persidangan akan bisa mendekati kualitas adil yang seadil-adilnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI