Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ekonomi Islam, Antara Sosialisme dan Kapitalisme: Telaah Filosofis Untuk Negeri

26 April 2025   22:18 Diperbarui: 26 April 2025   22:24 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Syari'ati melanjutkan dengan menafsirkan kisah dua anak Adam, Qabil dan Habil, yang berujung pada terbunuhnya Habil sang pria saleh oleh Qabil. Syar'iati merepresentasikan sosok Habil dengan era ekonomi berbasis padang rumput, semacam sosialisme primitif yang mendahului kepemilikan. Sedangkan Qobil merepresentasikan sistem pertanian, yang mewakili kepemilikan individu atau monopoli. Habil sang pengembala dibunuh oleh Qobil sang pemilik tanah. Periode kepemilikan bersama ala sosialistis pun digantikan dengan era pertanian yang mempromosikan akumulasi laba maupun kepemilikan pribadi. Jadi, kelas Qabil adalah kelas penindas, sementara kelas Habil adalah yang tertindas.

Alhasil, mengingat konflik kelas adalah ciri tak terpisahkan dari sosialisme, itu berarti Islam lebih condong kepada sosialisme. Analisa Dawam tentang perbedaan masyarakat Mekah (kapitalis) dan Madinah (sosialis) beserta formasi struktural yang ada di kedua masyarakat tersebut tampil lebih kuat ketimbang pendapat Rodinson yang melandaskan diri pada aspek rasionalitas belaka. 

Hanya saja, sosialisme Islam dengan konsep ummah-nya jelas memiliki perbedaan dengan sosialisme Barat. Pada
dasarnya, Islam hanya mengamini sosialisme yang bertujuan menciptakan kondisi sosial-ekonomi yang mengembangkan potensi pribadi manusia. Jadi, jika ada negara sosialis---seperti negara sosialis-komunis ---yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, Islam-lah paham yang akan ada di garis depan menentangnya. Sosialisme Islam, karena itu, merupakan sosialisme kritis yang memberikan kritik mendasar terhadap semua pola pembangunan yang memasung individualitas manusia.

Konsekuensi logisnya, negara kita mesti menerapkan prinsip-prinsip sosialisme yang mengedepankan jaminan sosial bagi seluruh warganya, pemerataan pendapatan, dan langkah-langkah sosialistis lainnya. Lagipula, watak sosialisme perekonomian Indonesia sebetulnya sudah digariskan para founding fathers kita. Mintz dalam Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia (2002)
sampai-sampai mengatakan bahwa Haji Agus Salim, Gubernur BI pertama Sjafruddin Prawiranegara, dan tokoh Masyumi lainnya adalah penganut sosialisme religius yang menghapus individualisme, merangsang inisiatif dan tanggung jawab individu, tidak setuju dengan penghapusan kelas, dan justru menjamin kemerdekaan individu.

Ekonomi pasar sosial

Jadi, kita tidak perlu alergi dengan label "sosialisme". Menyitir pernyataan legendaris mantan Perdana Menteri (PM) China Deng Xiaoping, "tak peduli kucing itu putih atau hitam, yang penting dia bisa menangkap tikus." Apalagi sosialisme berbasiskan spirit Islam sebagaimana diuraikan di atas sebenarnya sudah mewujud pula dalam diskursus ekonomi dunia bernama ekonomi pasar sosial (epasos). Inilah sistem ekonomi yang menghargai hak milik, kombinasi usaha individual dan masyarakat serta keragaman aktivitas ekonomi. Epasos meletakkan supremasi demokrasi dan konstitusi sebagai pemandu ekonomi suatu negara serta sebagai basis pembebasan manusia dari penindasan dan ketimpangan. Pranata negara dianggap memiliki peran penting dalam melindungi dan mengembangkan masyarakat secara memadai melalui asuransi sosial, skema pendanaan untuk masyarakat, penetapan cadangan komoditi atau modal, dan lain sebagainya. Di sini, menurut Yudi Latif dalam Negara Paripurna (Gramedia, 2011), peran negara dalam ekonomi aktif, tapi tidak menindas keragaman.

Epasos yang sejatinya mewadahi nilai-nilai ummah dalam pemikiran ekonomi Islam ini juga selaras dengan filosofi ekonomi politik negara Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. Di sini, negara bukan sekadar makhluk politik melainkan juga makhluk kultural yang bersendikan prinsip hidup bersama secara berkeadaban (Donny Gahral Adian, "Mengamankan Kebebasan," Gatra, 11 Januari 2012). Artinya, negara tidak hanya berkewajiban mengutamakan pemerataan sebagaimana dikehendaki sosialisme, tapi juga melindungi keadaban publik maupun kebebasan sebagaimana diajarkan oleh kapitalisme yang memang mengandalkan demokrasi sebagai infrastruktur politiknya.

Maka itu, ekonomi Islam lebih berwatak sosialistis tanpa mencampakkan total mekanisme pasar. Dan, itulah yang tertuang dalam paham ekonomi pasar sosial yang seyogianya bisa dipraktikkan negara kita. Dengan konsep ekonomi pasar sosial yang "netral agama", ekonomi Islam juga mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam (1996) sebagai "objektivikasi Islam" di mana nilai-nilai Islam diabtraksikan ke tataran konseptual yang lebih objektif-universal sehingga bisa diterima oleh semua kalangan.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun