Semakin hari kita memirsa perjalanan negeri ini memberantas korupsi, semakin kita geleng-geleng kepala. Pasalnya, alih-alih surut, kasus korupsi justru kian marak, bahkan dengan skala kerugian negara yang kian meraksasa seperti terlihat dalam kasus korupsi timah, oplosan BBM, dan lain sebagainya.
Nampaknya, korupsi di Indonesia telah menjadi kejahatan terorganisir alias organized crime karena sifatnya yang sudah terkelola rapi, sistematis, dan melibatkan banyak jejaring aktor yang rumit. Susan Strange dalam Retreat of the State (dalam I. Wibowo, Negara dan Bandit Demokrasi, Kompas, 2010, hal. 95) menyatakan bahwa banyak negara di dunia saat ini keok kala menghadapi tingkah-polah organized crime. Sebab, pelaku organized crime kerap berhasil "membujuk" oknum aparat maupun oknum pejabat agar tutup mulut dan tunduk pada kemauan mereka. Pendanaan organized crime yang demikian besar memang memungkinkan hal itu.
Infiltrasi neoliberalisme
Sejatinya, kemunculan kejahatan terorganisir (organized crime) ini erat kaitannya dengan infiltrasi alias masuknya paham ekonomi neoliberalisme yang ingin meminimalkan peran negara dalam penataan ekonomi dan bisnis. Per definisi, neoliberalisme merupakan paham ekonomi yang ingin menswastakan sektor publik (baca: sektor yang terkait dengan hajat hidup kepentingan orang banyak) sekaligus privat, berbeda dengan liberalisme klasik yang tidak mau menyentuh sektor publik (B. Herry-Priyono dalam Neoliberalisme, ed. Francis Wahono, Cindelaras, 2010).Â
Karena swasta sudah menginfiltrasi sektor publik, peran negara pun kian tersisih. Hasilnya, terkikis pula peran negara sebagai pemegang monopoli atas masalah lain, seperti monopoli atas penggunaan kekerasan dan penjamin ketenteraman. Negara punya pesaing dalam bentuk jejaring kejahatan terorganisir yang kerap merupakan persekutuan antara oknum birokrasi, oknum pengusaha, oknum masyarakat, dan oknum aparat penegak hukum.
 Datangnya era otonomi daerah pada masa reformasi ditengarai sebagai pembuka lahan baru nan lapang bagi berkecambahnya kejahatan terorganisir. Sejumlah studi menguatkan hal ini. Misalnya, Hazirwan dalam "Menagih Keadilan untuk Rakyat" (dalam Rindu Pancasila, Penerbit Kompas, 2010, hal. 198) menemukan bahwa saat otonomi daerah diterapkan, pemerintah daerah justru gencar menerbitkan izin eksploitasi sumber daya alam untuk pengusaha, terutama para pemodal kampanye mereka saat kontestasi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).Â
Kemudian, studi oleh Elizabeth Fuller-Collins (Indonesia Dikhianati, Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 212) menunjukkan bahwa Undang-Undang Otonomi Daerah, yang mendesentralisasikan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten justru telah membuka kesempatan bagi politisi setempat yang ambisius dan para wiraswastawan untuk membangun jejaring kekuasaan baru dan memegang kendali atas sumber daya alam daerah serta dana pemerintah.Â
Inilah cikal-bakal dari maraknya korupsi di daerah sekaligus melimpahnya sumber daya finansial di tangan para aktor korup. Akibatnya, kombinasi antara sumber daya finansial yang melimpah dan kuatnya jejaring kejahatan terorganisir menyuburkan praktik suap antara aktor korupsi dengan oknum-oknum aparat di berbagai lini, sehingga efek jera yang diharapkan pun gagal tercapai.
Lantas, bagaimana mendobrak tebalnya tembok kejahatan terorganisir ini? Setidaknya ada tiga hal prinsipil yang mesti ditempuh. Pertama, negara harus mengklaim lagi peran sentralnya (reclaiming the state) sebagai pemegang monopoli atas penggunaan sumber daya publik dan juga sebagai penjamin ketenteraman.Â
Untuk itu, negara harus berani memutar haluan ke arah sosialisme religius yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Inilah paham ekonomi yang lebih mementingkan aspek pemerataan dan peran aktif negara berdasarkan terang ajaran-ajaran agama. Boleh dibilang, putaran arah ini akan menjadi basis infrastruktur material guna menentukan keberhasilan di tingkat suprastruktur politik, budaya, hukum, dan lain sebagainya.
Kedua, kita semua mesti melakukan revolusi dalam bidang kebudayaan. Salah satu yang terpenting adalah kita harus memahami betul kata cukup dalam pemenuhan hajat material. Ini sejatinya secara teoretis akan terbentuk bersamaan jika formasi infrastruktur material sosialisme-religius tadi sudah tercapai.