Belakangan ini, insan sinema Indonesia sedang ramai oleh kontroversi seputar penunjukan seorang musisi, Ifan Seventeen, untuk memimpin Perusahaan Film Negara (PFN). Pasalnya, meski katanya Ifan juga punya pengalaman di dunia film karena memiliki sebuah rumah produksi, rekam jejak Ifan belum teruji. Ifan juga bukan seorang pakar manajemen yang punya rekam jejak membalikkan kinerja suatu perusahaan (corporate turnaround) ala mantan Direktur Utama Bank Mandiri, Robby Djohan ataupun mantan Direktur Utama PT KAI dan mantan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan.
Wajar jika muncul tudingan bahwa pemerintah seakan menganaktirikan atau memandang sebelah mata industri sinema atau film. Padahal, seperti di dalam industri musik, kita terbukti sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Raihan film seperti KKN di Dunia Penari dengan 10 juta penonton lebih dan Agak Laen dengan 9,1 juta penonton adalah bukti nyata. Ibarat kata, film sesungguhnya memiliki peran dan dampak ekonomi yang signifikan.
Peran ekonomi film
Tak perlu repot-repot, kita bisa melihat dua contoh konkret betapa film berperan besar mendongkrak perekonomian suatu bangsa.
Pertama, Korea Selatan. Karena negeri ginseng ini terkenal minim sumber daya alam, ekspor bahan mentah bukanlah pilihan untuk memajukan perekonomian mereka. Untungnya, Korea Selatan dikaruniai situs-situs panorama alam yang indah lagi memukau. Apalagi ditambah dengan karakteristik empat musimnya yang menawan. Problemanya kemudian, bagaimana mensosialisasikan keunggulan turisme tersebut?
Pada titik inilah, Korea Selatan punya jawaban jitu: film, utamanya film serial berdurasi panjang. Ibaratnya, Korea Selatan memiliki ide membuat semacam program iklan bersambung. Maka itu, dalam catatan sejarah sinema Korea, salah satu film serial yang menjadi arus pertama film bersendikan kekuatan panorama alam adalah Summer Love Story (2000) yang dibintangi dewi perfilman Korea Song-Hye-Ky0.Â
Diramu dengan tema universal romantisme cinta dan drama menguras air mata, film berlatar belakang keindahan musim panas di Korea ini menuai sukses seketika. Bahkan sekuelnya, Winter Sonata (2002), yang menonjolkan pesona musim dingin, tak kalah
fenomenal. Sama pentingnya, musik latar (soundtrack) film-film tersebut ikut meroket.
Efek dari kedua film ini dan produk-produk sinema susulannya pun mengagumkan. Industri pariwisata Korea melejit pesat karena wisatawan luar negeri ingin menyaksikan langsung pesona keindahan alam yang sebelumnya hanya bisa mereka saksikan di layar kaca. Saking tingginya, pendapatan pariwisata Korea Selatan bahkan menduduki peringkat 31 terbesar dunia.
Tambahan lagi, karya-karya sinema di atas merintis apa yang disebut Hallyu alias Gelombang Korea (Korean Wave). Yaitu, tersebarnya berbagai produk budaya lain seperti musik, bahasa, masakan, dan buku-buku tentang Korea ke seluruh dunia. Masyarakat dunia pun tak bisa lepas dari jerat keranjingan budaya pop Korea yang sering disingkat K-Pop ini. Sebab, komunitas global memang sudah larut dalam buaian film-film Korea yang ceritanya menyentuh jiwa dan pemandangan alam serta bintang-bintangnya
enak dipandang mata. Â
Kedua, Amerika Serikat. Untuk yang satu ini, kehebatan industri sinema tak perlu diragukan lagi. Sebagai negara yang dianggap sebagai kiblat gaya hidup (lifestyle) dan budaya modern, AS sadar betul akan kekuatan sinema untuk mendiseminasikan (menyebarkan) budaya mereka.Â
Makanya, sinema di sana punya kekuatan ekonomi yang luar biasa hebatnya. Bayangkan saja, satu film Avatar arahan James Cameron saja mampu meraih US$2,92 miliar atau sekitar Rp 48 triliun!Â
Menggairahkan Sinema
Melihat kedua contoh spektakuler di atas tentang fungsi ekonomi film, seyogianya Indonesia sudah mulai memperhatikan lebih serius industri sinemanya. Asalkan digarap serius, industri perfilman Indonesia pasti bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi bagi negara kita, utamanya dari segi promosi pariwisata dan budaya. Untuk sampai ke arah itu, ada dua langkah yang bisa dilakukan.
Pertama, pemerintah lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan instansi terkait harus berkomitmen mendongkrak industri sinema. Kita bisa mencontoh Korea Selatan yang menjadikan film sebagai bagian dari promosi pariwisata dan budaya. Harapannya, film kita bisa mendorong turis mancanegara datang berbondong-bondong ke Indonesia untuk memajukan industri
pariwisata kita.Â
Sebagai contoh, produser-sutradara Ernest Prakasa pernah menceritakan pengalamannya ketika membuat film Jatuh Cinta Tidak Seperti di Drama-Drama Korea bahwa Korea Selatan ternyata membebaskan pajak dan iuran bagi pelaku sinema yang ingin membuat film di beberapa daerah di sana. Sebab, mereka percaya film akan menjadi ajang promosi bagi wisatawan asing untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Korea.Â
Tak lupa, pemerintah juga mesti mengucurkan subsidi bagi industri sinema kita. Seperti misalnya di AS, beberapa negara bagian seperti New Mexico memberikan pinjaman bebas-bunga untuk film yang diproduksi di sana.
Kedua, Kementerian BUMN harus mendorong perusahaan seperti PFN (Perusahaan Film Negara) untuk mendorong produksi film yang sesuai dengan visi bangsa kita. Kita tentu masih ingat PFN di zaman dulu mampu melahirkan produk film televisi dahsyat bernama Si Unyil. Pada titik inilah, kita bisa mengerti jika banyak insan pencinta film yang kecewa ketika komando kepemimpinan institusi strategis seperti PFN justru diberikan kepada sosok yang bukan berlatar belakang film ataupun manajemen.
Semoga kedua solusi di atas mampu memajukan perekonomian bangsa ini.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI