Sebagai seseorang yang tumbuh kembang di era 1980-an, di mana Internet belum hadir dan negeri kita hanya memiliki satu stasiun TV pemerintah (TVRI), akses saya pada hiburan saat itu hanyalah kaset video pita Betamax/VHS dan buku bacaan. Karena biaya sewa kaset video secara rutin tidak terjangkau oleh kantong, jadilah buku bacaaan sebagai sarana eskapis saya di masa itu saat pikiran penat membutuhkan hiburan. Salah satunya, buku-buku cerita silat (cersil) karya Asmaraman S. (Sukowati) Kho Ping Hoo.
Masa kecil dan remaja sungguh mengasyikkan ditemani pendekar-pendekar tangguh rekaan Kho Ping Hoo, seperti Bu Kek Siansu, Kam Hong Pendekar Suling Emas, Suma Han Pendekar Super Sakti, Pendekar Sadis, dan lain sebagainya. Dari cersil itu, saya menyerap nilai-nilai kebaikan seperti patriotisme, integritas, kejujuran, dan lain sebagainya.
Namun, yang lebih membekas adalah falsafah kehidupan dari banyak cersil Kho Ping Hoo. Rasanya, falsafah yang satu ini selalu diulang di dalam ratusan jilid kisah-kisah para ahli wuxia itu: hidupilah hari ini atau masa sekarang dengan penuh karena masa silam sudah berlalu dan tak akan bisa diubah, sementara masa depan belum tentu kejadian.
Hidup di hari ini
Falsafah hidup ini sekarang langsung mengingatkan saya pada slogan filsuf Arthur Schopenhauer, "carpe diem" atau seize the day (rebutlah hari ini) yang senang sekali ditanamkan karakter guru Bahasa Inggris inspiratif John Keating kepada para siswanya dalam film Dead Poets Society (diperankan dengan sangat baik oleh Robin Williams). Mr. Keating dengan kalimat ini mengajarkan kepada siswanya untuk hidup secara penuh di hari ini dan jangan menjadi orang membosankan yang selalu sibuk dengan perencanaan masa depan.
Demikian juga motivator ulung John C. Maxwell senantiasa mengingatkan para pembaca buku bestseller-nya untuk membuat perubahan dengan cara "mulai dari diri sendiri dan mulai sekarang juga." Artinya, kita setiap hari harus menunjukkan daya upaya terbaik kita untuk mengisi hari ini, hari demi hari, dan demikian seterusnya. Mungkin kalau orang zaman sekarang akan menyebutnya sebagai Atomic Habits dengan merujuk pada buku terkenal berjudul sama karya James Clear.
Dari tradisi Islam, Nabi Muhammad SAW juga terkenal dengan sabda bahwa "celakalah orang yang hari ininya lebih jelek dari hari kemarin." Rasulullah SAW juga mengajarkan optimisme bagi manusia untuk menjalani setiap harinya ketika bersabda, "Jika Hari Kiamat akan tiba sesaat lagi dan engkau masih membawa tunas sebatang pohon untuk kamu tanam di semak belukar, teruskan niatmu dan tanamlah." Kita di sini diajari untuk memupuk mentalitas optimistis lagi kreatif di setiap harinya dengan mengerahkan ikhtiar terbaik di jalan kesalehan tanpa perlu menghiraukan apa yang akan terjadi di esok hari.
Ketika orang memiliki optimisme yang bersifat produktif-kreatif, dia akan mensyukuri kondisi yang ia punya setiap hari dan melakukan yang terbaik berdasarkan kondisi yang ia punya saat ini. Mirip dengan pendapat filsuf Martin Heidegger yang mengatakan bahwa manusia itu merupakan Da-Sein alias "Dia yang Di Sana" dalam artian faktisitasnya di dunia sudah ada begitu saja bagaikan "terlempar ke sana". Dia tidak bisa berbuat apa-apa tentang eksistensinya di dunia selain dari membingkai (enframing) dunianya berdasarkan alat-alat yang ia punya dalam keterlemparannya. Ini menjadi semacam aliran metafisika Barat yang mengajarkan manusia untuk melakukan 'zikir sekular' dengan bersyukur dan melakukan tafakur produktif dalam bentuk pembingkaian dunia. Ajaran ini juga yang membuat Heidegger disebut sebagai "Metafisikus Besar dari Barat."
Terakhir, ajaran "menghidupi penuh hari ini" sejatinya meretas jalan tengah antara Stoikisme dan nihilisme kreatif ala Nietzsche. Jika Stoikisme mewejangkan kepada kita untuk mengendalikan hal-hal yang ada di dalam diri kita, nihilisme kreatif menggugah kita untuk menolak realitas yang membelenggu dan menciptakan nilai-nilai baru penuh vitalitas bagi manusia.Â
Kalau Stoikisme terlalu pasif dan pasrah, nihilisme kreatif terlalu menggebu-gebu dan terkesan nekad. Sementara, falsafah "menghidupi penuh hari ini" persis menengahi keduanya dalam artian manusia perlu mensyukuri kondisinya di hari ini (masa sekarang), tapi dia tetap perlu mengerahkan upaya terbaiknya untuk menciptakan eksistensi dan realitas kebaikan yang ia rasa ideal di hari yang sama. Manusia menjadi "Manusia Melampaui" (overman) ala Nietzsche, tapi yang memiliki pikiran jernih untuk tetap menyelaraskan diri dengan "Hukum Alam".