Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Idul Fitri dan Makna Filosofisnya bagi Ekonomi

13 Februari 2025   20:38 Diperbarui: 13 Februari 2025   20:38 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Meski puasa Ramadan saja belum tiba, tapi tak ada salahnya kita melakukan refleksi tentang Idul Fitri, yang merupakan puncak dari rangkaian puasa, sebagai persiapan menyongsongnya.

Sejatinya, Idul Fitri sebagai saat di mana manusia kembali pada keadaan asali atau fitrah mengandung tiga esensi utama: penyucian, pencerahan, dan pembebasan. Penyucian karena di bulan puasa kita digembleng untuk beribadah sebulan penuh membersihkan berbagai dosa. Pencerahan karena kita lahir dengan semangat baru dan spiritualitas segar menghadapi kehidupan. Dan, pembebasan sebab kita sudah dibimbing untuk melepaskan diri dari belenggu nafsu rendah. 

Namun demikian, ketiga esensi ini sebenarnya juga mengandung hikmah ekonomi berharga yang patut kita renungkan. Wujudnya adalah apa yang dalam kosa kata ekonomi disebut sebagai tabungan, investasi, dan kemandirian keuangan (savings, investment, and financial freedom).

Pertama, kita renungkan betapa momen puasa adalah perintah Tuhan bagi kita untuk menahan diri dari lapar dan dahaga. Puasa bukan sekadar kegiatan menyucikan diri dari dosa, melainkan juga suatu jeda yang diberikan kepada manusia untuk menahan konsumsi. Sehingga, terciptalah surplus penghasilan yang lebih besar untuk ditabungkan. Kata kuncinya adalah mengekang keserakahan, mengungkung nafsu konsumsi besar-besaran demi menjalankan financial austerity (penghematan keuangan) dan melakukan kegiatan menabung atau savings.

Alhasil, penyucian spiritual yang dihasilkan dari puasa dan berpuncak pada Idul Fitri bisa disetarakan dengan penyucian pola hidup konsumtif yang acap mengabaikan kegiatan menabung. Tanpa menyucikan pola hidup konsumtif yang demikian, manusia akan mudah terjerembab ke dalam utang, kebiasaan tidak produktif, dan sempit wawasan-pikir karena mengabaikan perencanaan masa depan. 

 Kedua, momen pencerahan bisa disamakan dengan saat tabungan tadi diolah atau dialokasikan menjadi investasi. Pada Idul Fitri, umat Islam diharapkan dapat memetik hikmah cerah dari bulan Ramadan yang akan menjadi bekal bagi menjalani kehidupan sehari-hari secara lebih luhur. Dalam bahasa ekonomi, kebiasaan menabung yang telah terpupuk selama bulan puasa seyogianya ditingkatkan lebih jauh dalam bentuk investasi. 

Maka itu, menjelang Idul Fitri, umat Islam diwajibkan berzakat. Zakat bukan hanya ibadah untuk menyucikan harta, Lebih dari itu, zakat adalah instrumen untuk memeratakan pendapatan dan meningkatkan daya beli orang yang tidak mampu. Bersamaan dengan meningkatnya daya beli, pertumbuhan ekonomi akan naik. Ringkasnya, berzakat adalah investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang diharapkan akan menghasilkan efek tetesan ke bawah (trickle down effect) dan menciptakan kemaslahatan bagi orang banyak.

 Juga, momen pencerahan Idul Fitri sangat relevan dengan semangat berinvestasi karena investasi merupakan kegiatan produktif dengan efek ikutan berskala luas. Seperti menciptakan pekerjaan, menurunkan pengangguran, menekan kemiskinan, dan lain-lain. Artinya, manusia tercerahkan adalah mereka yang menjadi agen transformasi. Yakni, transformasi bukan hanya pada harkat hidupnya sendiri, melainkan juga harkat hidup orang banyak. Ini kemudian punya kaitan dengan semangat silaturahmi dalam Idul Fitri. Yaitu, silaturahmi yang tidak sesempit silaturahmi fisik saja. Melainkan, meluas sebagai jangkauan investasi kepada orang-orang papa. 

 Ketiga, Idul Fitri seyogianya berpuncak pada momen pembebasan, satu rangkaian akhir setelah proses penyucian (tabungan) dan pencerahan (investasi). Pembebasan secara ekonomi yang dimaksud di sini adalah kemandirian dari segala belenggu, seperti belenggu kemiskinan dan ketertindasan. Dengan kata lain, kemandirian itu adalah pembebasan dari kesempitan keuangan (financial freedom). Bayangkan jika individu-individu mencapai tahap kebebasan ini. Betapa mereka semua akan menjadi laksana riak-riak kecil yang berkumpul menjadi gelombang besar agregasi ekonomi dan produksi tinggi yang acap disebut dengan istilah pertumbuhan ekonomi pesat. Jika pertumbuhan ekonomi tinggi berkualitas seperti ini dapat digapai, pembebasan pun akan meluas menjadi kemandirian umat dari kesempitan keuangan. Bahasa gampangnya, kita akan mencapai kesejahteraan bersama sebagaimana diamanatkan dalam sila ke-5 dalam Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Itulah makna paripurna dari rangkaian esensi Idul Fitri.    

 Akhirul kalam, Idul Fitri adalah momen berharga yang jangan kita lepaskan begitu saja ketika bulan Syawal nanti berlalu. Alih-alih melupakan Idul Fitri, alangkah baiknya jika kita mampu terus-menerus menghayati semangat Idul Fitri ini, baik dalam kerangka spiritualitas maupun ekonomi. Untuk yang disebut terakhir, semangat Idul Fitri seyogianya dapat dikonkretkan dalam bentuk Tabungan, Investasi, dan Kemandirian demi mencapai nilai esensial luhur penyucian, pencerahan, pembebasan serta menciptakan kemaslahatan bagi umat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun