Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penyakit Respirasi dan Pertumbuhan Ekonomi

4 Februari 2025   21:45 Diperbarui: 4 Februari 2025   21:45 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof Dr. dr.Agus Dwi Susanto dalam pidato pengukuhan guru besar FKUI pada 11/2/2023 (sumber: tribunnews.com)

Polusi sudah diakui luas sebagai bahaya yang kian nyata. Pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Agus Dwi Susanto SpP(K) pada 11 Februari 2023 bahkan mengingatkan bahwa polusi udara yang semakin parah saat ini bisa memicu berbagai penyakit paru seperti: infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), tuberculosis (TBC), asma, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK). Bahkan, jika kandungan biomassa dalam polusi banyak berisikan emisi batu bara---misalnya dari pembangkit listrik---maka polusi dapat menimbulkan pneumokosis paru, yaitu radang paru karena pajanan debu batu bara secara terus menerus. 

Jika merujuk Ikhsan, Yunus, dan Susanto dalam Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan (2009), pneumokosis paru adalah penyakit pernapasan yang bersifat progresif, tidak bisa disembuhkan (irreversible), dan menurunkan kualitas hidup serta produktivitas pasien.

Potensi persebaran penyakit respirasi atau paru akibat polusi tentu membahayakan perekonomian negara karena akan bermuara pada peningkatan anggaran kesehatan. Sebagai contoh, data penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan periode 2018-2022 menunjukkan bahwa anggaran untuk penyakit respirasi meningkat tiap tahunnya. Pneumonia (radang paru) menelan biaya sebesar Rp8,7 triliun, tuberkulosis Rp5,2 triliun, PPOK Rp1,8 triliun, asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru Rp766 miliar. Jika ditotal, angka klaim penyakit respirasi di JKN itu menjadi Rp17,86 triliun selama lima tahun. Pada 2022 saja, BPJS mengemukakan data tambahan bahwa angka Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) akibat penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) meningkat tajam 3 kali lipat lebih, yaitu dari 70.722 kasus pada 2021 menjadi 249.076 kasus. Bahkan, angka Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) melonjak dari 472.427 kasus pada 2021 ke 1.086.678 kasus pada 2022.    

 Dampaknya pada JKN adalah potensi tersendatnya keberlanjutan asuransi kesehatan semesta itu. Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Ali Mukti mengakui akan adanya potensi defisit JKN sebesar Rp 20 triliun pada 2024 ini karena kenaikan klaim.

Belum lagi potensi defisit menyusul penetapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59/2024 yang memberlakukan sistem Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) menggantikan kelas 1, 2, dan 3. Sebab, keputusan ini secara logis akan bermuara pada penyeragaman premi untuk semua warga. Alhasil, warga yang selama ini mengiur untuk kelas 1 dan 2 bisa saja menikmati penurunan premi, sementara warga peserta kelas 3 harus merasakan kenaikan premi. Padahal, dengan premi saat ini yang sebesar Rp 35.000 saja (Rp 42.500 dikurangi subsidi pemerintah Rp 7.000 per peserta) sudah membuat banyak peserta kelas 3 menunggak, apalagi jika premi dinaikkan.

Ujung-ujungnya, tunggakan premi membengkak dan ini berpotensi menjerembabkan BPJS Kesehatan ke lubang defisit yang dapat membahayakan keberlanjutan JKN. 

 Ini tentu semakin mengancam pertumbuhan ekonomi. Sebab, mengutip Sulastomo dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (Penerbit Kompas, 2003), program jaminan kesehatan membuat masyarakat bisa merealokasikan dana dari pengeluaran kesehatan ke pengeluaran konsumtif yang menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Jadi, apabila layanan JKN tersendat dan membuat masyarakat sulit berobat, tentu masyarakat tidak lagi punya daya konsumsi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi secara makro juga akan terbonsai.

Pencegahan 

Karena itu, penurunan angka klaim penyakit respirasi menjadi niscaya demi menekan angka klaim JKN. Untuk itu ada beberapa cara. Pertama, pepatah 'mencegah lebih baik daripada mengobati' menjadi sangat relevan. Maksudnya, semua pemangku kepentingan mesti mengutamakan kampanye pencegahan penyakit respirasi dengan menggencarkan kembali PHBS alias Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Dua hal utama dari PHBS adalah rajin melakukan cuci tangan menggunakan sabun dan memakai masker. Sayangnya, setelah pemerintah tidak lagi mewajibkan penggunaan masker menyusul penetapan Covid-19 sebagai endemi, disiplin masyarakat terkait PHBS ini menjadi kendor. Karena itu, perlu dilakukan kampanye di berbagai media lewat beraneka cara untuk menanamkan kembali pentingnya PHBS. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FTKP) seperti Puskesmas juga bisa menjadi garda depan untuk itu.

Kedua, pemerintah perlu memberlakukan pajak karbon kepada industri penghasil emisi karbon yang menjadi salah satu penyebab polusi. Kemudian, pemerintah dapat mengalokasikan sebagian dana itu untuk membiayai JKN. Selain itu, pemerintah wajib menerapkan penegakan hukum tegas secara konsisten terhadap para oknum pelaku industri yang melakukan kegiatan produksi dengan standar lingkungan yang melanggar hukum. Ini demi menimbulkan efek jera bagi para pelaku. Selain itu, menaikkan cukai rokok, mengingat rokok juga merupakan salah satu penyebab polusi dan pemicu penyakit respirasi, perlu dilakukan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun