Salah satu efek paling mudah dilihat dari dunia di ujung telunjuk ini adalah menguatnya membandingkan diri sendiri dengan pencapaian orang lain. Di era media sosial, perasaan ini akan mudah terpicu karena kita dengan mudah mengakses hidup orang lain yang konon "sempurna" melalui feed Instagram atau story WhatsAppnya, teman lama update soal diterima kerja, menikah, kuliah S2, atau buka bisnis.
Mungkin hal ini biasa saja, tapi bagi mereka yang masih berjuang dapat menjadi sumber kecemasan. Ada rasa tidak cukup baik, tertinggal, bahkan gagal. Kemudian dari beberapa kasus, ada yang mulai menghindar dari pertemuan keluarga, malas ikut reuni, takut bertemu orang, bahkan enggan membuka media sosial. Dunia luar terasa seperti ruang pengadilan, mereka seperti terdakwa yang sulit membela diri.
Jadi artikel ini tidak bermaksud menyinggung siapapun, tapi penulis ingin mengingatkan kita kembali bahwa komentar atau pertanyaan yang menyakitkan muncul dari niat baik yang salah arah. Namun ini adalah tanggung jawa kita semua; civil society. Â Sudah waktunya semua pihak belajar melek empati. Bahwa tidak semua orang punya start yang sama. Bahwa proses itu tidak bisa dipukul rata. Bahwa diam untuk tidak bertanya soal kerja, gaji, atau nikah kadang jauh lebih bijak daripada menyampaikan perhatian dalam bentuk pertanyaan yang menyayat.
Sekian terima gajiii..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI