Setiap kali tanggal merah tiba, media sosial selalu ramai dengan pemandangan teman-teman yang berlibur ke Bali, Labuan Bajo, atau bahkan ke luar negeri. Di sisi lain, sebagian dari kita cuma bisa menatap layar HP sambil menghitung sisa saldo di rekening yang mulai menipis.
Tapi, siapa bilang liburan harus mewah untuk bisa bahagia?
Aku pernah berada di posisi itu. Gaji baru cair, tapi begitu lihat daftar tagihan listrik, sewa kamar, dan cicilan motor langsung sadar, sisa uangnya cuma cukup buat makan seminggu. Tapi kepala ini rasanya butuh istirahat. Butuh healing, kata anak zaman sekarang. Dari situlah aku mulai belajar, bahagia itu bisa dicicil, bahkan dengan modal receh.
1. Ubah Cara Pandang: Liburan Itu Bukan Pelarian, Tapi Penghargaan
Dulu aku menganggap liburan adalah pelarian dari rutinitas. Harus jauh, harus di tempat hits, dan harus punya foto keren buat diunggah. Tapi setelah beberapa kali liburan dengan sisa uang seadanya, aku sadar, esensi liburan bukan sejauh apa kita pergi, tapi seberapa dalam kita menikmati.
Pernah suatu kali aku cuma naik KRL ke kota sebelah, duduk di taman kota, bawa bekal nasi goreng buatan sendiri, dan baca buku favorit di bawah pohon. Nggak ada biaya tiket mahal, nggak ada hotel bintang lima, tapi rasanya tenang banget. Di momen itu, aku sadar healing bukan soal destinasi, tapi soal perasaan.
2. Eksplorasi Sekitar, Temukan "Surga Tersembunyi" di Dekat Rumah
Banyak orang tidak sadar, daerah sekitar tempat tinggal mereka punya banyak spot menarik.
Contohnya: taman kota yang gratis, sungai kecil dengan jembatan estetik, atau warung kopi pinggir jalan dengan pemandangan sawah.
Aku pernah keliling naik sepeda tua keliling kota kecilku. Setiap berhenti, aku menemukan cerita bapak penjual es kelapa yang sudah 20 tahun berjualan, mural warna-warni di dinding gang, atau senyum ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian. Semua itu gratis, tapi penuh makna.
Kadang, kita cuma perlu melihat dari sudut berbeda untuk merasa seperti turis di kota sendiri.