Mohon tunggu...
Sutriyadi
Sutriyadi Mohon Tunggu... Penulis - Pengangguran

Sekali hidup hidup sekali

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lembaga Pendidikan Jangan Jadi "Toko Sembako"

29 Agustus 2021   06:32 Diperbarui: 29 Agustus 2021   06:32 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sepakat dengan Neil Postman bahwa buku-buku teks tampak sebagai musuh pendidikan dan menjadi alat dogmatis. 

Ahli media sekaligus kritikus budaya dari Amerika itu bukan hanya menunjukkan potret carut-marut proses pendidikan, namun juga untuk memutus mata rantai bisnis fulus yang dilakukan oleh oknum pihak sekolah terhadap siswa.

Bukan lagi rahasia, praktek jual beli di lingkup sekolah telah berubah rasa, seolah menjadi lumrah adanya. Padahal mengganggu, merugikan, dan berdampak buruk bagi pola pikir siswa. 

Hal ini mempertegas bahwa guru tidak mampu menjadi sumber pengetahuan dan cerminan perilaku. Selama ini siswa tidak belajar langsung kepada guru melainkan pada buku-buku teks yang konservatif.

Lalu apa fungsi guru hadir di tengah-tengah pendidikan, jika tugasnya hanya memindahkan kata atau angka yang menempel di setiap buku. Apakah makna guru tidak bergeser jika tugasnya hanya demikian?


Pergeseran sosial dan budaya serta pesatnya perkembangan teknologi modern juga mempengaruhi sebuah ilmu pengetahuan. Sifat ilmu pengetahuan dinamis. Bergerak terus-menerus sesuai dengan perkembangan zaman. 

Teori-teori yang berlaku saat ini, belum tentu akan relevan jika digunakan di sepuluh tahun yang akan datang. Itu sebabnya buku-buku teks tidak cocok dihadirkan dalam sekolah formal karena sifatnya statis.

Jika buku teks dipahami oleh siswa sebagai kebenaran absolut bukankah akan menimbulkan gesekan antargenerasi. Sebab perbedaan dimaknai kesesatan. Nah, semua itu dampak dari kegamangan dalam memahami ilmu pengetahuan. 

Pendidikan model dogmatis telah memberikan reaksi sosial negatif di tengah masyarakat, terutama dalam aspek pemahaman beragama. Sebab ilmu pengetahuan yang mereka peroleh hanya dari satu buku teks, sementara referensi itu tidak sama isi dan pemahamannya dengan buku-buku lainnya.

Seperti yang pernah disampaikan oleh Jean Piaget bahwa ilmu pengetahuan baru mengalahkan ilmu pengetahuan lama. Ia menawarkan kepada para pendidik agar anak-anak diajari dengan cara merangsang pikirannya jangan diberi yang instan karena akan membuat pikiran kritisnya tidak terlatih dan lambat dalam proses pemecahan masalah.

***

Seiring terjadinya wabah covid-19 yang melumpuhkan setiap lini di seluruh pelosok negeri, membuat LKS kian mantap diposisikan sebagai solusi pembelajaran jarak jauh. Kondisi yang disinyalir menjadi endemi ini dimanfaatkan oleh oknum pihak sekolah untuk memberi jawaban singkat terhadap persoalan krisis proses pendidikan.

Kesannya tugas seorang guru hanya menunjuk halaman berapa dan dikumpulkan tanggal berapa. 

Ya, jika ada yang bilang tidak semua guru demikian, namun dapat dikatakan bahwa semua guru pernah melakukan hal serupa bahkan mayoritas guru enggan beranjak dari media LKS. Padahal, LKS hanya dibutuhkan bagi guru-guru yang malas untuk berinovasi, sementara Indonesia tidak membutuhkan tipe guru demikian.

Praktek jual beli inilah kemudian makin subur. Lembaga pendidikan berubah jadi toko sembako. Kepala sekolah kulakan LKS, menyediakan seragam, kartu, dan atribut diskon untuk siswa. 

Bahkan setiap guru ditugasi mencari peserta didik baru sebanyak mungkin untuk mendongkrak kuantitas lembaga pendidikan yang mereka kelola.

Di sisi lain, pemerintah mengalami mimpi buruk di siang bolong, kaget dan kelabakan menghadapi pendidikan di tengah pandemi, Semua itu dampak dari euforia proses belajar mengajar masa lampau, tidak kontekstual, kritis dan berpikir maju. 

Akibatnya menghasilkan produk kebijakan yang tidak jauh berbeda. Monoton pada ruang kelas dan waktu yang formal. Sehingga kesulitan memunculkan ide-ide baru dan solusi yang tepat.

Beberapa terakhir ini ada pemberitaan kadisdik melarang peredaran atau praktek jual beli LKS di sekolah-sekolah. Selain tidak sesuai dengan peraturan pendidikan, jangan sampai di tengah pandemi ada yang mengambil kesempatan dalam kesulitan. Harapannya kadisdik di seluruh Indonesia tidak retorik lalu menganggap urusan ini selesai, namun harus disertai dengan tindakan nyata, menyisir ke setiap sekolah untuk mengecek dan menindak langsung.

Belum lagi pungutan SPP bagi sekolah dasar hingga menengah atas yang mengatasnamakan meningkatkan fasilitas pendidikan. Saya tegaskan, untuk apa fasilitas itu, jika fungsinya bikin kaku dan membelenggu kreativitas siswa. 

Biarlah mereka belajar bebas dengan dunianya. Guru memberikan keyakinan serta mengarahkan apa yang mereka lakukan. Pendidikan bukan untuk mencetak pengetahuan yang seragam namun beragam.

Oleh karenanya penting bagi setiap guru dan pengelola pendidikan memahami esensi dari sebuah pendidikan. Pengabdian bukan ladang pekerjaan apalagi sampai jadi toko sembako.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun