Selain alat musik tiup, juga terukir cantik serta sering dihadirkan pada Sound of Borobudur adalah ceng-ceng. Alat ini merupakan alat musik tradisional Bali. Menyebut nama pulau dewata itu tidak lepas dengan budayanya yang kental dan kokohnya agama Hindu di sana. Kehadiran alat musik yang terukir di Borobudur membuat nama Bali kian kokoh dalam sejarah Indonesia.
Selanjutnya, destinasi sakral yang ditetapkan UNESCO sebagai pusaka dunia 1991 itu juga menyuguhkan ukiran padahi, gendang yang asal-muasalnya dari Sunda. Tentu jika penulis menyebutkan semuanya, mungkin tulisan ini tindakan ada akhirnya. Uraian mengenai alat musik di atas, mencerminkan Borobudur sebagai perpaduan komponen-komponen yang berbeda-beda namun dapat menyatu dan menciptakan harmoni. Harmoni inilah kemudian kita maknai sebagai bhinneka tunggal ika.
Keterwakilan dari pelbagai daerah yang memiliki mayoritas suku, agama tertentu lalu terpusat di Borobudur merupakan gagasan yang sarat pesan moral bagi kita sebagai generasi berikutnya bahwa Borobudur merupakan anugerah dari Tuhan untuk segenap umat manusia agar dapat dibaca, ditelaah, dan diimplementasikan dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga berjalan seiring dan seirama. Harapan untuk hidup setara saling mengasihi dan mengisi satu sama lain telah diajarkan oleh pembabat alas negeri ini.
Jika nenek moyang kita yang selama ini dianggap primitif saja bisa hidup berdampingan dan menciptakan persatuan, bagaimana dengan kita yang "merasa" sebagai generasi yang lebih modern?
Oleh sebab itu, nilai-nilai pancasila dan kebhinnekaan yang kian mengkhawatirkan di tangan anak muda, marilah kita kokohkan kembali dan melihat jauh ke belakang dan belajar kepada sejarah Borobudur agar toleransi tidak hanya garang di mulut namun juga diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.