Siapa sih, yang tidak kenal dengan Borobudur? Candi yang terletak di Yogyakarta itu seringkali kita temui di buku-buku sejarah sejak SD. Selain pemandangannya yang indah, ada semacam rahasia yang sembunyi hingga membuat saya kagum. Sebab selama ini saya hanya mengira bahwa Borobudur hanyalah bebatuan biasa yang diukir lalu tersusun dengan rapi. Ternyata di luar dugaan, ada sejarah, musik dan nilai toleransi yang kokoh di situ.
Musik
Menurut artikel yang ditulis oleh Trie Iie Utami di website soundofborobudur.org bahwa setidaknya ada sekitar 45 jenis alat musik yang terpahat di panel-panel relief. Baik itu berupa alat musik petik, tiup dan tabuh. Hal itu menunjukkan wonderful Borobudur, tidak hanya berdiri sebagai destinasi ciamik tapi juga sebagai tanda bahwa ratusan tahun yang lalu terdapat sebuah peradaban agung.
Ukiran-ukiran eksotis di setiap panel relief merupakan gambaran bagaimana leluhur ingin menceritakan sebuah peristiwa besar di zamannya melalui karya seni. Tidak hanya musik, namun interpretasi yang lebih luas terdapat tatanan pendidikan, bentuk pemerintahan, politik, agama, dan pusat singgah antar bangsa-bangsa.
Jika dilihat dari filsafat strukturalis, hal itu mustahil dapat diabadikan sebegitu indah, andai seniman terdahulu tidak memiliki pengalaman dan ingatan yang kuat serta terlibat langsung dalam sosiobudaya di masa itu. Sebab beberapa abad yang lalu belum ditemukannya media atau alat canggih yang dapat merekam dalam bentuk visual.
Secara sadar ukiran tersebut dibuat dengan sengaja bahwa di zaman nenek moyang kita musik cukup dominan sebagai aktivitas yang paling digandrungi baik oleh kalangan bangsawan, atau masyarakat kecil. Itu sebabnya alat musik dijadikan sumber inspirasi oleh seniman terdahulu untuk melestarikan budaya dan mempersembahkan bahwa Borobudur pusat musik dunia yang bukan hanya milik Yogyakarta tapi juga aset berharga bangsa Indonesia.
Dalam artikel tersebut juga menyebutkan bahwa bentuk asli dari pahatan alat musik yang tergambar di setiap relief sekurang-kurangnya ada di 40-an negara serta banyak pula digunakan dan menjadi nilai tersendiri di pelbagai suku yang tersebar di luar dan dalam negeri. Artinya, Borobudur tidak hanya menjadi pusat pertukaran antarbudaya di nusantara akan tetapi juga menjadi titik temu sejarah serta tempat singgah bangsa-bangsa dari Eropa, Afrika, dan lainnya.
Hal itu juga selaras dengan teori atavistik bahwa jika bentuk dan cara permainan tradisionalnya sama, walaupun berbeda negara dapat dipastikan bahwa kita berasal dari nenek moyang yang sama. Borobudur tidak hanya dimiliki oleh etnis tertentu namun juga dimiliki oleh dunia sebagai wujud lahirnya persatuan dan persamaan budaya dan musik pada khususnya.
Kiblat Toleransi Dunia
Candi Borobudur kian menarik untuk didaki, juga kian unik dan kaya untuk dikaji. Sebut saja misalanya bangsi atau bansi, alat musik ini juga ada di pahatan panel relief Borobudur. Asalnya, alat musik tiup semacam suling yang terbuat dari bambu tumbuh dan berkembang di Lembah Alas, Aceh. Di sana alat ini biasanya digunakan sebagai bunyian atau musik pengiring tarian dan merupakan alat kebanggaan yang dimilik daerah berjuluk Serambi Mekah itu.