Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lihat! PKS Piyungan "Onani"

1 Maret 2013   08:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:30 10227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13621242871869090645

[caption id="attachment_230062" align="aligncenter" width="600" caption="pkspiyungan.org"][/caption] Ini sekedar catatan ringan. Barusan saya menerima kiriman dua link dari sahabat saya, seorang kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di Facebook. Barangkali maksudnya supaya pandangan saya---terkait dugaan korupsi impor sapi yang melibatkan kader puncak PKS, (mantan) Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI)---dapat berubah. Sebagai mahluk politik tapi nonpartisan, dan menulis sebagai ajang bersenang-senang, sudah barang tentu saya berterima kasih sekali atas kiriman link tersebut. Link pertama berisi kultwit dari Ridlwan (@ridlwanjogya), kader PKS, di pkspiyungan.org, bertajuk "TEMPO? Tukang Tipu jadi narasumber Investigasi". Dan, link kedua berisi artikel opini dari Deddy Armyadi, juga kader PKS, berjudul "Bedanya Anas dan LHI, Sebuah Catatan Hukum", juga di web pkspiyungan.org. Setelah saya klik 'Suka', lalu mulailah saya membaca link tautan itu. Tak terlalu mengejutkan jika isinya tak lebih dari "onani" opini dari suporter PKS yang dimuat oleh situs PKS Piyungan.org. Jadi benarlah kata orang, bahwa PKS Pinyungan sedang onani. Betapa tidak, media partisan begini dengan gagah berani mengadu artikel opini demikian dengan artikel berita investigatif Majalah Tempo. Tapi bolehlah, semangatnya itu. Tulisan dilawan tulisan. Link pertama, berisi kultwit, tak lebih upaya menjelek-jelekkan Yudi Setiawan, orang dekat LHI, nara sumber Majalah Tempo. Antitesis yang diajukan: orang seperti Yudi tak layak jadi nara sumber. Ini mirip dengan antitesis kader Partai Demokrat dulu: bahwa Nazaruddin hanya penipu, pembual, omongannya tak layak didengar. Belakangan baru terperangah, ternyata hampir semua tuduhan Nazaruddin ternyata ada buktinya. Harus diingat, apa yang disampaikan Majalah Tempo sudah dengan sederet bukti-bukti, baik keterangan saksi mata, mupun bukti-bukti dokumen (foto-foto, dokumen persetujuan kredit, dan kwitansi). Jadi, bukan sekedar keterangan lisan Yudi Setiawan secara berdiri sendiri. Karena itu, berita Majalah Tempo tersebut sulit dibantah. Termasuk sulit membantah sebuah foto, yang bercerita jauh lebih banyak dari kata-kata. Hanya saja, mungkin saking bersemangatnya para suporter PKS pembela LHI ini, sampai-sampai di kolom komentar artikel ini dikatakan bahwa foto LHI bersama Ahmad Fathonah (AF) dan Yudi Setiawan yang dimuat Majalah Tempo, sebagai telah diedit. Padahal, jika dibandingkan foto yang dimuat Majalah Tempo vs foto yang dinyatakan "asli", jauh lebih jelas kualitas gambar foto di Majalah Tempo. Yang lebih penting, Majalah Tempo sebagai media besar dan kredibel tidak memiliki motif untuk memalsukan data dan nara sumber. Bukan saja karena Majalah Tempo di luar para pihak yang sedang berurusan dengan hukum, melainkan juga Majalah Tempo media independen yang besar dan memiliki kredibilitas yang tak diragukan lagi. Jadi, kecil sekali kemungkinan Majalah Tempo merekayasa data dan nara sumber. Dari kultwit Ridlwan tersebut justru memperlihatkan kedekatan LHI dengan AF dan Yudi Setiawan, jauh sebelum KPK menangkap AF dan LHI. Jadi pernyataan pihak PKS selama ini bahwa LHI tak kenal dengan AF, adalah pernyataan bohong. Sementara itu, soal artikel opini "Bedanya Anas dan LHI, Sebuah Catatan Hukum", intinya menyatakan ada perlakuan berbeda KPK terhadap Anas dan LHI: menyangkut alat bukti maupun penjara (istilah yang benar, penahanan). Dimana dikatakan bahwa alat bukti Anas lengkap, sementara alat bukti LHI tidak jelas. Termasuk menyangkut jumlah uang Rp.1 miliar, dikatakannya bahwa yang benar adalah Rp.980 juta, karena Rp.10 juta sudah jadi milik Maharani dan Rp.10 juta lagi di tas (milik) AF. Dalam kaitan jumlah uang sebagai barang bukti ini tidak jadi soal berapa jumlahnya. Apakah Rp.1 miliar atau Rp.980 juta. Namun KPK berpendirian bahwa uang Rp.10 juta di tangan Maharani bukanlah milik Maharani---serah terima dari AF kepada Maharani dianggap tidak sah oleh KPK, uang itu merupakan barang bukti satu kesatuan, sehingga total Rp.1 miliar. Sedangkan mengapa Anas belum ditahan adalah kewenangan penyidik KPK. Yang jelas setiap tersangka di KPK pasti ditahan, hanya Anas belum saja. Pada waktunya pasti akan ditahan. LHI langsung ditahan karena ia dianggap satu paket dengan AF, dalam kasus korupsi tertangkap tangan. Protap di KPK, setiap tersangka tertangkap tangan langsung ditahan. Dalam hal ini, sekalipun uang di tangan AF belum sampai kepada LHI, namun penyerahan uang itu dianggap sudah selesai karena AF digagalkan di tengah jalan. Dianggap pidananya telah selesai, karena tinggal penyerahan saja, serta sejauh yang diberitakan, didasarkan pada bukti-bukti komunikasi LHI-AF. Protap di KPK sangat ketat soal bukti-bukti ini. Satu dan lain hal KPK tidak boleh menghentikan penyidikan (SP3). Karena itu, syarat minimal dua alat bukti sudah benar-benar kuat, baru KPK berani menetapkan seseorang sebagai tersangka. Ini terbukti dari rekam jejak KPK yang terdakwanya selalu berhasil dipidana di tingkat pengadilan. Dalam kaitan dengan kasus LHI, KPK diyakini memilik bukti-bukti keterkaitan aktivitas AF dengan LHI makanya KPK berani tetapkan LHI sebagai tersangka. Tidak mungkin KPK menetapkan LHI sebagai tersangka hanya berdasarkan keterangan lisan AF, karena bukan saja tidak memenuhi syarat alat bukti minimal dalam KUHAP (cuma satu alat bukti: saksi), melainkan juga menyalahi protap di KPK. Artikel "onani" ala suporter PKS tersebut sulit untuk mengalahkan kualitas pemberitaan Majalah Tempo. Bahkan sulit untuk sekedar mengimbangi opini-opini di media sosial seperti ini, karena sekali pun opini namun nonpartisan. Berbeda dengan opini partisan suporter PKS tersebut di atas. Orang dengan mudah bilang, "Ya, namanya juga separtai, pasti saling bela." (SP)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun