[caption id="attachment_217354" align="aligncenter" width="620" caption="KPK/Admin (KOMPAS.com/Icha Rastika)"][/caption] Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikenal sebagai lembaga independen dari pengaruh unsur kekuasaan negara lainnya. Namun, faktanya, KPK tidak sepenuhnya independen termasuk dalam dua kewenangan intinya, yakni penyidikan dan penuntutan. Bagaimana supaya sepenuhnya independen? Hal ini mengingat penyidik-penyidik KPK berasal dari kepolisian yang nota bene merupakan polisi aktif. Karena polisi aktif maka masih terikat dengan institusi yang mengirimnya ke KPK. Kapanpun pihak Mabes Polri bisa menarik personilnya seperti dapat kita lihat saat penarikan 20 penyidik KPK oleh Mabes Polri. Disinilah pentingnya revisi peraturan pemerintah yang mengatur masa penempatan personil penyidik di KPK. Namun inipun belum cukup. Demikian pula dengan penuntut umum yang berasal dari kejaksaan dan merupakan jaksa aktif; sama dengan penyidik polisi, penuntut umum (jaksa) aktif tersebut dapat ditarik kapanpun oleh pihak kejaksaan. Sangat tidak masuk akal penyidik KPK berasal dari kepolisian dan penuntut umum berasal dari kejaksaan. Sementara kedua institusi ini (kepolisian dan kejaksaan) merupakan poros tempat korupsi peradilan (selain pengadilan) yang wajib dibersihkan oleh KPK. Jeruk makan jeruk. Dengan demikian, dua nyawa dari lima nyawa KPK dipegang urat nyawanya oleh kepolisian dan kejaksaan. Lima nyawa KPK adalah komisioner dengan kewenangannya, pendanaan dari APBN, personil penyidik, personil penuntut umum, dan staf pegawai---penulis tidak memasukan gedung sebagai nyawa KPK. Disinilah pentingnya KPK menjatuhkan "talak tiga" kepada kepolisian dan kejaksaan. Selanjutnya KPK merekrut penyidik dan penuntut umum sendiri yang terlepas dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Seperti halnya bisa ditiru pada Comissao Anti-Corrupcao Timor Leste atau Lembaga Pemberantasan Korupsinya Timor Leste, lihat di sini. Soal hambatan-hambatan, yang berasal dari aturan atau landasan hukum dari penyidik dan penuntut umum independen dari KPK tersebut, relatif mudah diatasi. Yakni, revisi semua aturan yang mengatur bahwa penyidik haruslah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu, sebagaimana diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 atau KUHAP. Direvisi, bahwa khusus di KPK penyidik dan penuntut umum berasal dari kalangan sipil atau pensiunan yang berpengalaman dan direkrut mandiri oleh KPK. Beres.[]