ACAP DITEMUI tulisan bertema hukum populer atau ilmiah akademik seperti skripsi atau tesis yang membedakan hibah dan gratifikasi, dalam pengertian hukum negara (bukan agama atau adat), secara kurang tepat bahkan menyesatkan.
Antara lain, disebutkan, bahwa gratifikasi dilakukan untuk memperoleh sesuatu dengan cara bertentangan dengan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 ("UU PTPK").
Konsep gratifikasi yang disebutkan demikian belum lengkap unsur-unsurnya dan mengarah pada tindak pidana suap. Dan itu bukan gratifikasi. Mengapa disebut demikian?
Sebab, subjek penerima gratifikasi tidak disebutkan siapa. Dan, si penerima "gratifikasi" dikesankan sebagai persona yang aktif, suatu ciri khas tindak pidana suap atau pemerasan.
Pertama, gratifikasi yang sesungguhnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B UU PTPK, jelas menyebutkan subjeknya yaitu pegawai negeri dan penyelenggara negara. Ini wajib sifatnya.
Lebih lengkap baca juga: Jangan Sampai Terjerat, Pahami Perbedaan Gratifikasi dan Suap
Pemberian dalam arti luas kepada non pegawai negeri sipil (PNS) dan non aparatur sipil negara (ASN) atau non penyelenggara negara tidak terkategori sebagai gratifikasi menurut UU PTPK. Lebih tepat disebut hibah.
Kedua, sejatinya, penerima gratifikasi dimaksudkan sebagai persona yang pasif. Dia tidak aktif meminta diberi sesuatu. Tiba-tiba diberi sesuatu oleh seseorang.
Bila PNS/ASN atau penyelenggara negara aktif meminta diberi sesuatu, maka mengarah ke suap atau jangan-jangan pemerasan. Walau belum bisa dipastikan suap atau pemerasan, kecuali unsur lainnya terpenuhi.
Pemberian demikian menjadi suap apabila si pemberi bermaksud bahwa pemberiannya itu ditujukan kepada PNS/ASN atau penyelenggara negara agar si penerima menggunakan jabatannya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.