Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena Penyidik Yang "Maha Kuasa"

22 Maret 2018   12:19 Diperbarui: 22 Maret 2018   12:36 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI (Shutterstock)

Kadang-kadang ada-ada saja kejadian lucu dalam penanganan suatu perkara pidana. Suatu hari seorang tersangka memohon kepada advokat penasehat hukumnya agar tidak mengajukan permohonan penghentian penyidikan perkaranya. 

"Saya takut ditahan, pak," katanya beralasan. Maksudnya, ada kekhawatiran yang bersangkutan bahwa permohonan itu dipersepsi penyidik sebagai perlawanan (pembangkangan) pihak tersangka. Bayangkan itu.

Jika diingat-ingat, baru kali ini melihat seorang tersangka tidak mau perkaranya diupayakan untuk dihentikan. Umumnya tersangka/terdakwa akan berupaya bagaimana pun caranya agar perkaranya dapat dihentikan.

Setelah dijelaskan, bahwa tidak ada hubungan langsung antara penahanan dengan permohonan penghentian penyidikan, si klien tetap merasa ketakutan. Dan tetap ketakutan sekalipun tidak merasa bersalah dan dijelaskan lagi bahwa penahanan baru bisa dilakukan jika memenuhi syarat objektif dan subjektif, sedangkan permohonan penghentian penyidikan adalah hal lain lagi; dua hal yang terpisah.

Syarat objektif penahanan  bila pasal yang dikenakan memiliki ancaman minimal lima tahun atau kurang lima tahun pada pasal-pasal tertentu yang limitatif disebutkan dalam undang-undang. Sementara syarat subjektif penahanan merupakan penilaian subjektif penyidik, penuntut umum atau hakim bahwa tersangka/terdakwa dikhawatirkan akan melarikan diri, mengulangi pidana yang disangkakan, menghilangkan barang bukti dan/atau memengaruhi saksi-saksi.

Untuk menghindari penerapan syarat objektif dan subjektif penahanan tersebut semau-maunya aparat saja, maka undang-undang memberi semacam "pintu pengaman" bagi tersangka/terdakwa berupa hak mengajukan gugatan praperadilan. Jika hakim memutus bahwa penahanan tidak sah, maka penyidik wajib mengeluarkan tersangka dari tahanan.

Namun dalam praktik di lapangan, penerapan syarat objektif dan subjektif penahanan tersebut sangatlah lentur. Hal mana karena penilaian syarat subjektif penahanan diserahkan sepenuhnya pada penyidik. Penyidiklah yang berwenang menilai apakah tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana yang disangkakan atau memengaruhi saksi-saksi.

Bisa saja tersangkanya sendiri sama sekali tidak ada niat untuk melarikan diri, misalnya karena menilai lebih besar dampak buruknya, ada tanggung jawab pekerjaan, keluarga dan sebagainya. Namun penyidik bisa saja menilai sebaliknya, namanya juga penilaian subjektif.

Salah satu ketakutan terbesar umumnya orang yang berhadapan dengan proses hukum pidana adalah ditahan oleh penyidik. Ketakutan demikian beralasan. Sebab, belum apa-apa, belum ada vonis hakim apakah bersalah atau tidak, tapi sudah ditahan saja. Berbeda halnya bila sudah ada vonis hakim yang menyatakan bersalah, masuk penjara memang konsekuensi logis.

Penahanan demikian akan berdampak berantai, misalnya bagi keluarga, pekerjaan (dipecat, dinonaktifkan dari jabatan, dan seterusnya), ekonomi dan pikiran/psikologis karena kehilangan kemerdekaan atas badan sendiri. Makanya penahanan menjadi momok bagi siapapun tersangka/terdakwa.

Di tangan penyidik yang baik, yang bekerja tidak lain daripada melaksanakan tugas berdasarkan undang-undang, kekhawatiran demikian relatif lebih minimal. Sebaliknya, di tangan penyidik yang punya motif beragam dalam melaksanakan tugas, termasuk mengharapkan uang tersangka, kekhawatiran ditahan bila permintaan penyidik tidak dipenuhi, menjadi sangat besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun