Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Belajar Makna Kehidupan dari Rumah Oei

19 Juli 2025   05:00 Diperbarui: 17 Juli 2025   20:39 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pBila kita memasuki kota Lasem, pada sebuah jalan raya Jatirogo, terletak Rumah Oei. Di bagian depan berupa gapura, dengan prasasti tentang Rumah Oei, disampingnya terdapat gerai toko batik Lasem dan gerai kopi Lelet, kopi khas Lasem.

Bila kita memasuki gapura, terlihat sepanjang koridor gerai-gerai kuliner khas Lasem dan kerajinan khas Lasem. Setelah melewati Taman Pringgodani, kita akan melihat bangunan dua tingkat, yang difungsikan sebagai penginapan, dengan nama Wisma Familie.

Di depannya terdapat ruang makan, tempat makan pagi bagi tamu penginapan. Dan ketika kita masuk lebih ke dalam, terdapat ruangan bekas rumah kuno yang difungsikan sebagai museum. Disana terdapat kamar-kamar keluarga Oei, meja altar sembahyang, perabot rumah tangga, dan tampilan tokoh-tokoh dunia, Indonesia, dan Tionghoa Peranakan, seperti Laksamana John Lie, Ignatius Jonan, Chrisye, dan lainnya.

Tokoh-tokoh Tionghoa Peranakan memang tidak tertulis dalam buku-buku sejarah, meski mereka juga ikut berjuang dari masa persiapan kemerdekaan, masa perjuangan paska kemerdekaan, hingga masa pembangunan Indonesia yang sekarang.

Melalui museum ini, seakan kita diingatkan ada secuil sejarah yang sengaja dihilangkan. Dan semoga pengunjung museum ini diingatkan akan sejarah yang hilang.

Lalu kita dapat melihat panel-panel tentang kehidupan, kita dapat belajar filsafat, bahasa, musim, bahkan kuliner.

Mengenai filsafat kita dapat belajar dari Lao Tze, hanya melalui tulisan, tanpa guru. Secara mendalam, Lao Tze mengajarkan bahwa di dalam kehidupan kita tidak sekadar mengejar cita-cita, kekayaan, atau lainnya, namun harus selaras dengan semesta. Istilah yang dikenal sekarang adalah Mestakung, atau semesta mendukung.

Kita selama ini terbiasa menyantap mie, baik mie yang dimasak khusus, maupun mie siap saji. Mie memiliki filosofi sebagai umur panjang. Itulah sebabnya saat kita berulang tahun, sering kali ada sajian mie. Identik dengan mie (bakmie) adalah bihun, kweetiau dan misoa.

Sumpit juga memiliki filosofi mengenai keseimbangan dalam kehidupan. Sumpit terdiri dari dua bilah bambu sama panjang yang harus dipakai bersamaan, agar dapat berfungsi untuk mengambil dan menyantap makanan. Jadi dalam kehidupan kita harus selalu bersinergi, tidak boleh egois. Sumpit melambangkan kebersamaan, kesetaraan, kesabaran, dan kerendahan hati. Sumpit tidak tajam, harus dipegang sejajar dengan sabar.

Kita juga belajar tentang kuliner sesuai dengan musimnya. Diawali dengan Imlek (musim semi) berupa lontong Cap Go Meh. Menyimbolkan harapan baru. Diikuti dengan Peh Cun (musim panas), festival perahu naga, makan bakcang. makanan terbuat dari ketan berisi daging, melambangkan keberanian. Kita menyambut datangnya musim gugur dengan makan kue bulan bersama keluarga, melambangkan persatuan keluarga. Terakhir, musim dingin , membuat dan menyantap ronde bersama, yang melambangkan kehangatan keluarga.

Makanan 4 musim (dokpri)
Makanan 4 musim (dokpri)
Juga diperlihatkan kuliner Tionghoa yang telah membumi di Indonesia (akulturasi). Tentu kita sudah mengenal bakso, bakwan, cincau, jamu, kaldu, kuaci, sate, sekoteng, siomay, soto, hingga tauco.

Akulturasi (dokpri)
Akulturasi (dokpri)
Kuliner ini seakan sudah menyatu dengan masyarakat kecil, karena menjadi santapan sehari-hari.

Bahkan baju koko, yang sekarang sering digunakan umat Muslim, ternyata juga berasal dari budaya Tionghoa. Awalnya bernama tui-khim, baju pria berkancing. Karena dikenakan pria Tionghoa, maka masyarakat menyebutnya baju engkoh. Karena engkoh sering disingkat koko, penamaan baju ini menjadi baju koko. Jadi, baju koko, bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah. Sekarang banyak dikenakan umat Muslim saat salat Jumat hingga salat Ied ketika Lebaran, atau menghadiri buka puasa bersama, pengajian atau kenduri.

Pelajaran terakhir yang dapat kita pelajari di Rumah Oei adalah mengenai Bakti Anak. Dituliskan orangtua semiskin-miskinnya, akan senantiasa berkorban untuk anaknya. Maka sebagai imbal baliknya, anak harus berbakti pada orangtuanya. Merawatnya saat sudah renta, atau merawatnya saat sakit. Jangan membiarkan orangtua susah di hari tua, karena anak akan menyesal seumur hidup.

Lalu juga ada pelajaran tentang bahasa Hokkian yang sudah banyak diserap oleh bahasa Indonesia. Juga pelajaran tentang keseimbangan dalam kehidupan, teori Yin-Yang, pengertian angpau (amplop merah), dan cara memberi hormat (Bai atau pai).

Panel-panel bercerita (dokpri)
Panel-panel bercerita (dokpri)
Rumah Oei memang secara fisik hanyalah sebuah museum. Namun banyak pelajaran tentang kehidupan yang bisa kita petik.

Kunjungi dan camkan pelajaran kehidupannya yang mulia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun