Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imlek di Pemukiman Tionghoa Miskin

21 Januari 2020   08:29 Diperbarui: 24 Januari 2020   20:24 2858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Cina Benteng (sumber: artikel.rumah123.com)

Mungkin selama ini banyak stigma yang salah, gara-gara orang terlalu banyak mendongak ke atas, tetapi kurang menundukkan kepala melihat ke bawah. 

Gara-gara beberapa orang Tionghoa menjadi konglomerat atau menjadi orang nomer sekian terkaya di Indonesia atau pembayar pajak terbesar, maka muncullah stigma bahwa orang Tionghoa itu pasti kaya. Bahkan yang lebih runyam ada yang menuduh menguasai perekonomian Indonesia.

Tunggu dulu, stigma itu dapat dipatahkan bila Anda mau melihat ke bawah. Dalam perjalanan dari Pontianak ke Kuching di bagian Barat Kalimantan, saya melihat banyak perkampungan Tionghoa miskin. 

Di Bagansiapi-api Sumatera, banyak cukong-cukong kapal nelayan, tetapi banyak pula orang Tionghoa yang menjadi nelayan miskin. Demikian pula di desa Gudang Lumut, Belinyu, Kepulauan Bangka-Belitung, terdapat kawasan Tionghoa miskin yang rumahnya sering kebanjiran. 

Dan yang paling dekat dengan ibukota Republik Indonesia Jakarta adalah Tangerang, tepatnya di desa Sewan, dekat dengan bandara Soekarno Hatta terdapat pemukiman miskin Tionghoa yang dikenal dengan sebutan Cina Benteng.

Cina Benteng

Asal muasal Cina Benteng diduga berasal dari imigran asal Tiongkok yang mendarat pada sekitar tahun 1407 di daerah Teluk Naga, Tangerang. Imigran berikutnya di duga kebanyakan merupakan keturunan dinasti Qing dan tinggal di dekat benteng yang di bangun Belanda di tepi sungai Cisadane guna mencegah serangan dari Kesultanan Banten ke Batavia.

Kebanyakan Cina Benteng hidup bertani, berladang, menjadi nelayan dan kerja serabutan karena mereka berpendidikan rendah, bahkan bisa bersekolah saja sudah suatu anugerah yang patut disyukuri. 

Jadi, mereka tidak mungkin dapat mengenyam kerja kantoran karena tidak memiliki ijasah pendidikan tinggi juga banyak yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Upaya mendaftarkan mereka ke Dukcapil hanya dilakukan oleh LSM yang peduli atau menunggu keriuhan politik lima tahunan bila menjelang pilleg, pilpres dan pilkada, ada beberapa caleg yang peduli mengurus KTP mereka dengan harapan mampu mendongkrak pundi-pundi suara mereka. Selesai keriuhan politik, upaya pengadaan KTP kembali padam.

Ciri fisik mereka sebagai bangsa Tionghoa hampir sirna, paling yang tersisa hanya mata sipit. Kulit kuning sudah berubah menjadi hitam akibat terbakar sinar matahari di sawah, ladang atau laut. Namun budaya Tionghoa masih kental disini, jauh berbeda dengan Tionghoa kota besar yang sudah beralih menjadi penganut Nasrani yang sudah 70% meninggalkan budaya leluhur. 

Di kalangan Cina Benteng juga sudah banyak yang beralih agama, baik Nasrani maupun Islam. Mereka juga masih mempertahankan perkawinan adat Manchu dan kesenian Cokek, akulturasi budaya Tionghoa-Betawi. Serta masih mengenakan pakaian adat yang terpengaruh budaya Betawi seperti baju koko untuk kaum pria dan pakaian hwa-kun dan kebaya encim bagi kaum wanitanya yang dipadukan dengan hiasan kembang goyang.

Pakaian adat perkawinan Cina Benteng (sumber: xtrawap.com)
Pakaian adat perkawinan Cina Benteng (sumber: xtrawap.com)

Imlek di Tangerang

Meski rumah mereka ala kadarnya ada yang berdinding setengah tembok dan sisanya terbuat dari kayu atau bambu saja, namun ornamen Imlek selalu dipasang saat Imlek seperti lampion merah. 

Altar sembahyang juga penuh sajian untuk disajikan pada leluhur, baik altar sembahyang asli maupun meja yang ditutup taplak lalu dirubah menjadi altar sembahyang. Pada umumnya mereka masih memegang kuat kepercayaan Confisius atau Konghucu, walaupun ada sebagian yang sudah menganut agama Buddha.

 Kumpul keluarga saat Imek (sumber: beritagar.id)
 Kumpul keluarga saat Imek (sumber: beritagar.id)

Bau asap dari hio tercium pada hampir setiap rumah, penghuniya mengenakan baju baru atau paling tidak baju bersih terbaik yang dimilikinya. Atau bagi yang beruntung mendapat bantuan pakaian layak pakai dari organisasi atau komunitas yang mengadakan bakti sosial menjelang Imlek. Selain pakaian layak pakai, seringkali mereka mendapatkan paket sembako dan angpao (amplop merah berisi uang).

Ada kalanya komunitas yang memberikan "kail" tidak selalu "ikan", misalnya dengan mengajarkan ketrampilan kepada ibu-ibu untuk membuat kalung untuk aksesories yang dapat dijual untuk menambah pendapatan keluarga.

Menurut penjelasan salah seorang warga dari hasil bertani atau berladang dan kerja serabutan mereka hanya mampu menghasilkan 3 juta Rupiah sebulan masih lebih rendah dari UMR Kota / Kabupaten Tangerang. Itulah sebabnya mereka masih harus hidup dibawah garis kemiskinan.

Meski dalam kondisi miskin, mereka tetap tidak melupakan budaya nenek moyangnya. Puncaknya adalah perayaan Imlek atau awal musim semi. Mereka bersembahyang dan berdoa kepada Tuhan (Thian), Dewa-dewa atau Toapekong dan leluhur agar diberikan rezeki dan kebahagiaan di tahun mendatang.

Satu-satunya harapan utama mereka adalah bisa terus menempati rumah gubuk yang telah ditempati turun temurun selama ratusan tahun. Tanpa harus digusur karena mereka tidak pernah mengurus hak kepemilikan tanah tempat tinggal mereka, selain itu karena tempat tinggal mereka berada di DAS Ciliwung yang menurut peraturan Pemda terbaru dilarang untuk ditinggali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun