Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Review Film Ode to My Father, Film Korea yang Sarat Nilai Kemanusiaan

22 Februari 2015   19:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:42 3838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14244328361450211311

Film Korea Selatan tidak selalu menampilkan gangnam style, tetapi dapat juga berupa film yang meluluh lantakkan emosi bahkan menguras air mata penontonnya. Film yang di produksi di tahun 2014 dan diedarkan perdana pada tanggal 17 Desember 2014 berhasil menggapai prestasi sebagai film dengan pendapatan tertinggi ke dua dalam sejarah perfilman Korea Selatan dengan meraih penjualan tiket sebanyak 13.1 juta lembar.

Sebagai sebuah film dengan genre drama-perang, film ini dibintangi oleh Hwang Jung Min (Yoon Dook-soo), Yunjin  Kim (Young Ja), Jun Jing Young (ayah Dook-soo), Jong Young Nam (ibu Dook-soo), Ra Mi-ran (bibi Dook-soo), Shin Rin-ah (Mak-soon), dan Oh Dal Su (Dal-goo). Film yang diproduksi oleh CJ Enterprise ini memasang sutradara film kenamaan Yoon Je Kyoon.

Film yang mengangkat kisah nyata manusia biasa dan menggambarkan suasana Korea Selatan di tahun 1950 hingga saat ini. Manusia biasa ini mengalami kepahitan kehidupan di kala terjadi evakuasi Hungnam di tahun 1951 sebagai akibat dari Perang Korea. Film ini menggambarkan pula dampak dari keputusan Pemerintah yang mengirim tenaga perawat dan pekerja tambang ke Jerman pada tahun 1960 serta Perang Vietnam.

Pada peristiwa evakuasi Hungnam pada tahun 1951 dalam Perang Korea ada ribuan pengungsi dari Utara ke Selatan dengan bantuan kapal perang Amerika Serikat. Salah satu dari para pengungsi itu adalah seorang anak laki-laki bernama Dook-soo yang selalu menggandeng erat dan menggendong adik perempuannya, Mak-soon. Akibat Mak-soon terlepas dari gendongan Dook-soo, maka sang ayah bertekad mencari puterinya, dan minta dengan sangat kepada Dook-soo untuk mengawal ibu dan dua adiknya menuju pelabuhan Busan, guna menemui sang bibi yang memiliki toko di sana. Dook-soo diminta bersumpah oleh sang ayah, agar selalu mengingat toko itu sebagai titik pertemuan suatu hari nanti.

Dook-soo kecil akhirnya menjadi kepala rumah tangga termuda dan harus berjuang keras guna menghidupi keluarganya. Pada tahun 1960 ketika masalah keuangan membelit keluarga tersebut, karena keluarga ini harus membiayai kuliah adiknya di universitas, akhirnya memaksa Dook-soo untuk menerima tawaran pekerjaan sebagai buruh tambang di Jerman, iapun pergi bersama temannya, Dal-goo.

Diperantauan di benua Eropa ini, Dook-soo jatuh cinta dengan seorang wanita pekerja imigran juga, yaitu Young Ja, seorang perawat. Akibat mengalami kecelakaan di pertambangan serta visanya habis, akhirnya memaksa Dook-soo meninggalkan Jerman dan kembali lagi ke Korea Selatan.

Young Ja beberapa bulan kemudian menyusul ke Korea Selatan dan memberitahukan Dook-soo bahwa ia sedang hamil mengandung anak akibat kisah kasih mereka di Jerman. Akhirnya mereka segera menikah dan mulai hidup bersama, hingga memiliki dua putra.

Beberapa tahun kemudian, bibi Dook-soo meninggal dunia. Paman Dook-soo yang sudah tua juga membutuhkan uang, dan berniat menjual tokonya, namun tidak disetujui oleh Dook-soo. Karena Dook-soo selalu ingat pada pesan ayahnya saat evakuasi Hungnam, agar menjadikan toko tersebut sebagai titik pertemuan. Guna mempertahankan toko tersebut, Dook-soo berniat membeli toko tersebut. Karena ia membutuhkan uang, maka ia memutuskan untuk ikut Perang Vietnam pada tahun 1970, dengan tujuan untuk membiayai pernikahan akbar adiknya serta untuk membeli toko bibinya dari sang paman.

Young Ja sebagai isteri serta ibunya sangat mengkawatirkan kondisi suami / anaknya, mengingat Perang Vietnam sangat berbahaya dan sudah memakan banyak korban. Namun Dook-soo terus meyakinkan isteri dan ibunya agar menyetujui niatnya tersebut. Dook-soo akhirnya dilepas berangkat ke medan Perang Vietnam, dan akhirnya harus kembali ke Korea Selatan dengan kaki pincang, akibat kena tembakan karena menolong penduduk desa melarikan diri dari kejaran pasukan Vietcong. Ironisnya gadis kecil yang terpisah dari kakak laki-lakinya, yang ditolongnya mirip dengan kasusnya saat Dook-soo mengalami evakuasi Hungnam, yang terpisah dari adik perempuannya.

Setelah membeli toko bibinya dari sang paman, Dook-soo mengoperasikan toko tersebut bersama isterinya. Dan pada tahun 1983 saat sebuah stasiun televisi yang terkenal dengan program yang berniat menyatukan keluarga yang terpisah akibat Perang Korea muncul, Dook-soo terpilih untuk mengikuti program televisi tersebut, tentunya dengan harapan dapat bertemu dengan ayahnya.

[caption id="attachment_369866" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber : Ode to My Father (Dok : hancinema.net)"][/caption]

Ternyata acara tersebut gagal mempertemukan Dook-soo dengan ayahnya, ia hanya dapat bertemu dengan seorang laki-laki tua yang berasal dari kota asal yang sama. Meski sangat kecewa karena gagal menemukan ayahnya, Dook-soo dipaksa lagi oleh keluarganya untuk mengikuti program televisi tersebut agar dapat menemukan saudara perempuannya yang hilang (Mak-soon). Mak-soon rupanya telah diadopsi oleh keluarga di Amerika Serikat dan tinggal disana. Dengan bantuan program televisi tersebut terjadilah reuni keluarga yang dramatis, akhirnya Mak-soon bersedia kembali ke Korea untuk bertemu kembali dengan keluarganya.

Ibu Dook-soo pun wafat setelah reuni tersebut, dan Dook-soo tua akhirnya memutuskan untuk menjual tokonya karena terus merugi, apalagi Dook-soo sudah putus asa karena harapan untuk bertemu kembali dengan ayahnya sudah pupus.

Film berdurasi 126 menit ini memanggungkan sebuah kisah nyata yang dialami oleh anak manusia akibat perang sehingga memisahkan keluarga, mereka dapat melanjutkan kehidupan dengan keras, namun mereka akhirnya gagal untuk bersatu kembali, meski segala usaha sudah diupayakan.

Film ini sangat mengocok emosi penonton dengan kisah kemanusiaan baik sedih maupun banyolan klasik, seperti saat Dook-soo berhasil dipertemukan dengan adik perempuannya Mak-soon, saat Dook-soo gagal menemukan ayahnya, saat Dook-soo terpesona dengan gadis Korea sehingga mengalami kecelakaan sepeda dan ditolong oleh si gadis yang ternyata seorang perawat, saat Dook-soo berhasil meruntuhkan hati gadis pujaannya dengan makanan Korea, serta Dal-goo yang mengimpikan gadis Barat ternyata menangisi hilangnya keperjakaannya akibat diperkosa wanita Barat, saat Dook-soo memberikan cokelat kepada bocah Vietnam yang mengingatkan penderitaaannya di masa kecil, dan masih banyak lagi. Perang selalu membawa penderitaan baik pada bangsa manapun, itulah sebabnya kita harus belajar dari sejarah dan harus selalu mengupayakan agar tidak ada lagi perang di bumi tercinta ini.

Film ini juga menyindir dengan halus, anak-anak abad ini yang kurang menghargai orang tuanya, saat bepergian tidak mengajak orang tuanya, malahan menitipkan anak-anaknya (cucu bagi orang tuanya) bak panti asuhan.

Lima belas Kompasianers dari kelompok KOMiK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub) telah terpilih guna mendapatkan kesempatan menonton film ini (nonton bareng) di Blitzmegaplex, Pacific Place, Jakarta pada hari Sabtu 21 Februari 2015. Kami semua sepakat untuk merekomendasikan pembaca Kompasiana untuk menyaksikan film ini, karena saratnya film ini dengan kaidah kemanusiaan. Make Peace Not War !!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun