Mohon tunggu...
Sutarno Drs
Sutarno Drs Mohon Tunggu... Guru - Arsitek Jiwa

Mengajar dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merindu Pejabat Negara yang Melayani Bukan Dilayani

10 November 2021   10:03 Diperbarui: 17 November 2021   12:29 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merindu Pejabat Negara yang Melayani, Bukan Dilayani

Oleh : Sutarno

"Saya lebih mencintai keluargaku, tapi saya lebih mencintai negeriku. Bila saya harus memilih, saya pilih kepentingan negeriku." (Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia)

Siapa bilang hidup itu hanya mengalir mengikuti arus? hanya benda mati yang larut dan hanyut dalam suatu aliran arus sungai yang mengalir. Hidup itu pilihan, memiliki prinsip hidup itu sebuah keharusan. Dalam kehidupan nyata, seorang pejabat negara adalah seorang pemimpin yang harus memiliki komitmen pribadi. Soekarno membuktikan dirinya sebagai sosok pejabat  negara, seorang pemimpin yang berkomitmen terhadap kepentingan bangsa dan negaranya daripada kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.

Pemimpin itu bukan pemimpi tanpa aksi, tapi pemimpin harus berani bermimpi demi sebuah visi. Kepemimpinan adalah sebuah aksi keberanian mengesekusi, bukan hanya duduk di kursi dengan segala kenyamanan yang hanya bisa memerintah bawahannya dan menuntut hasil tanpa mau tahu bagaimana proses bawahan bekerja, apa yang sebenarnya sedang dikerjakan, dan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pejabat negara itu harus peka terhadap semua persoalan yang sedang terjadi dengan memberikan sebuah solusi tanpa harus memaki apalagi membenci. 

Pejabat negara harus merangkul, bukan memukul karena sebuah kemajuan dan kesejahteraan hanya bisa dicapai dengan rasa persaudaraan dan gotong-royong. 

Bukankah itu cita-cita negeri ini ketika berdiri sebagai negeri yang cinta harmoni, saling asah, asih, dan asuh? Sebuah cita-cita akan mengejawantah ke dunia nyata ketika dibawah kendali seorang pejabat negara yang rela memberikan hidupnya untuk bekerja, bekerja, dan bekerja bersama rakyat yang dicintainya.

Pejabat negara harus memiliki hati melayani, bukan sekedar ambisi. 

Saatnya kita mendengar ungkapan pejabat negara dalam hal pelayanan publik, kalau bisa dipercepat kenapa harus diperlambat? Suatu revolusi mental yang mengubah cara berpikir, berperilaku, dan berdampak dalam pelayanan terhadap publik. Pertanyaannya, masih adakah pejabat negara dan pemimpin bangsa yang memiliki hati dan mental seperti ini? Ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab tapi bukan berarti tidak ada.

Membaca Indonesia  berarti membaca para pejabat dan pemimpinnya dalam mengelola rakyat, kekayaan alam, dan keberagaman masyarakatnya. Indonesia adalah negara yang strategis sehingga memungkinkan menjadi magnet untuk disinggahi oleh negara-negara dari berbagai belahan di dunia demi kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya bahkan ideologi. Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman suku, agama, etnis, ras, dan golongan. Konsekuensi logis sebagai masyarakat yang beragam yang bernaung dalam suatu wadah negara yang bernama Indonesia adalah perlu perekat yang menyatukan, mengarahkan langkah kehidupan menuju satu tujuan yang sama dalam berbangsa dan bernegara .

Pancasila hadir sebagai jawabannya. Pancasila diyakini mampu mengilhami seluruh aktivitas masyarakat, memberi arahan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian lahir dan batin bahkan menjadi alat peredam konflik, jawaban dalam menghadapi perkembangan global saat ini yang berpotensi memecah belah persatuan, melunturkan rasa nasionalisme, mendegradasi esensi budaya nasional dan budaya daerah, lunturnya etika berbicara dan bertingkah laku, dan menipisnya rasa solidaritas antar anak bangsa.

Dalam serbuan informasi yang sangat padat, daya tahan Pancasila diharapkan mampu menjadi penyaring arus informasi yang sarat akan hoaks hingga ajakan melakukan radikalisme yang mengarah pada terorisme. 

Pancasila sudah terbukti menjadi panduan kehidupan dalam mengatasi setiap persoalan yang dihadapi. Sebagai contoh, hadirnya koperasi yang berasaskan kekeluargaan dan gotong-royong menjadi wadah usaha bersama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Tentu ini belum cukup, masih perlu "amunisi" lain untuk menjadikan Indonesia yang kuat, maju dan berkarakter.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dengan jumlah penduduk 271.349.889 juta jiwa berpotensi menjadi negara maju dan berpengaruh di dunia internasional. Keberagaman masyarakat Indonesia adalah modal dasar yang perlu dikelola secara profesional untuk menghadapi tantangan zaman.

Kondisi seperti ini diperlukan pejabat negara yang kompeten untuk memimpin dalam upaya pemberdayaan sumber daya manusia. Membangun sumber daya manusia berarti menumbuhkan karakter orisinil bangsa Indonesia yang berkepribadian Pancasila. Membangun karakter bangsa dimulai dari pejabat negaranya karena mereka adalah pemimpin yang memiliki pengaruh besar terhadap kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya.

Pancasila merupakan salah satu dari empat pilar kebangsaan Indonesia sudah sewajarnya dipahami dan dimaknai sebagai pedoman dalam menentukan setiap kebijakannya. Namun, dalam kenyataannya, masih banyak pejabat negara bermental penguasa yang ingin selalu dilayani. Akibatnya, banyak terjadi kemerosotan terhadap pelayanan publik. Masyarakat malah dijadikan obyek, bukan subyek dalam pelayanan publik. Masyarakat menjadi kecewa karena birokrasi yang panjang dan berbelit-belit.

Kredibilitas keteladanan Pancasila oleh pejabat negara dipertanyakan implementasinya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan penerapan Pancasila dalam pelayanan publik adalah menghadirkan semangat revolusi mental model Presiden Joko Widodo, yaitu seluruh kebijakan pelayanan publik harus mengandung nilai-nilai Pancasila.

Sebenarnya, konsep revolusi mental sudah digagas oleh Bung Karno dalam tulisan kitab "Mencapai Indonesia Merdeka" tahun 1932, "Revolusi mental adalah mengubah sifat yang nrima, yang penuh dengan rasa minder karena kolonialime Belanda, diganti dengan  semangat baru, semangat harimau, yaitu mental dalam skala nasional bahkan internasional". Ini berarti menjadi Indonesia tidaklah cukup memiliki rasa persatuan nasional, tetapi harus berani berjuang menjadi bangsa besar dalam kancah internasional.  

Hal itu harus menjadi sebuah paradigma berpikir yang menantang untuk menjadi bangsa dan negara maju yang berakarakter Indonesia. Menurut Jokowi, revolusi mental itu berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinil bangsa, yaitu karakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Inilah modal yang dapat menyejahterakan masyarakat Indonesia (Kompas.com, Jokowi dan Arti Revolusi Mental, Oktober 2014)

Dengan revolusi mental, cara pandang kita akan berubah dalam melihat dan menyikapi setiap perubahan zaman akibat modernisasi. Jiwa dan semangat revolusi mental akan mendorong manusia Indonesia agar "melek" terhadap kemajuan. Cara berpikir modern tanpa kehilangan identitas diri bangsa, yaitu gotong royong dan persaudaraan. 

Bung Karno pernah berkata bahwasanya "membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, tetapi sesungguhnya membangun jiwa bangsa". Pada konteks ini, para pemimpin dan pejabat negara akan menjadi pelopor di garda terdepan untuk menggerakan semangat revolusi mental.

Selain itu, pejabat negara seharusnya seorang pribadi yang jujur dan pemberani. Sebagai seorang pemimpin yang mengabdi dan melayani negara dan rakyatnya. Pejabat negara sebaiknya mengimplementasikan gaya kepemimpinan yang dianjurkan Ki Hajar Dewantoro, yaitu " Ing Ngarso sung tulodho"  yang artinya menjadi teladan dalam beriskap, bertutur kata, dan bekerja dalam memberikan pelayanan. "Ing Madya Mangun Karso" yang artinya di tengah membangun cita-cita dengan membangkitkan semangat swakarsa dan berkreasi, berinovasi, dalam pelayanannya. 

"Tut Wuri Handayani" yang artinya mengikuti dan mendukungnya dengan mendorong bawahannya untuk berani berjalan dan bertanggung jawab dan mandiri terhadap pekerjaannya dengan memberikan pelayanan yang maksimal dan berkualitas. Ini membuktikan bahwa melayani itu memberi, bukan diberi. Rinduku untukmu para pejabat negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun