Mohon tunggu...
I Gede Sutana
I Gede Sutana Mohon Tunggu... Dosen Ilmu Budaya

Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Asta Kosala-Kosali: Menjaga Harmoni Ruang dan Jiwa Masyarakat Bali

12 September 2025   05:42 Diperbarui: 12 September 2025   05:42 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Arsitektur tradisional Bali memiliki kekhasan yang tidak hanya terletak pada bentuk fisiknya, melainkan juga pada nilai filosofis, kosmologis, dan religius yang mendasarinya. Bangunan Bali bukan sekadar konstruksi material, tetapi representasi dari hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, serta manusia dengan alam. Salah satu sumber utama yang menjadi pedoman arsitektur tradisional Bali adalah Lontar Asta Kosala-Kosali. Lontar ini bukan hanya naskah kuno, melainkan manifestasi kearifan lokal yang menuntun masyarakat Bali dalam menata ruang, membangun rumah, maupun menyusun tata lingkungan yang selaras dengan nilai budaya Hindu Bali.

Secara harfiah, istilah Asta Kosala-Kosali terdiri dari kata asta (delapan), kosala (aturan), dan kosali (ukuran). Lontar ini berisi delapan pokok aturan ukuran serta tata cara pembangunan arsitektur Bali. Asta Kosala-Kosali dapat dipahami dalam dua dimensi: pertama sebagai lontar yang memuat teks normatif, dan kedua sebagai konsep arsitektur yang hidup dalam praktik masyarakat Bali. Dalam lontar tersebut dijelaskan ukuran bangunan yang disesuaikan dengan antropometri tubuh manusia, orientasi ruang yang mengikuti kosmologi Hindu Bali, hingga aturan spiritual yang harus ditaati dalam mendirikan bangunan. Dengan demikian, Asta Kosala-Kosali menegaskan bahwa arsitektur Bali tidak bisa dilepaskan dari nilai sakral dan filosofi kehidupan.

Asta Kosala-Kosali bukan sekadar aturan teknis konstruksi, tetapi dilandaskan pada kosmologi Hindu Bali. Prinsip utama yang menjadi ruh dalam lontar ini adalah Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebahagiaan, yaitu Parhyangan (hubungan harmonis manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis manusia dengan sesama), dan Palemahan (hubungan harmonis manusia dengan alam). Selain itu, tata ruang dalam Asta Kosala-Kosali juga erat kaitannya dengan konsep Tri Mandala (utama, madya, nista) dan Sanga Mandala (pembagian ruang sembilan arah mata angin). Konsep ini menegaskan bahwa setiap ruang memiliki makna spiritual yang berbeda dan harus dihormati sesuai dengan posisinya dalam kosmos. Misalnya, kaja-kangin (utara-timur) dipandang sebagai arah suci tempat stana Tuhan, sehingga pura keluarga (sanggah/merajan) biasanya ditempatkan di area tersebut.

Tata ruang rumah Bali merupakan representasi nyata dari ajaran Asta Kosala-Kosali. Rumah tradisional Bali tidak pernah dibangun secara sembarangan, melainkan melalui ritual dan perhitungan matang. Pekarangan rumah biasanya berbentuk persegi atau persegi panjang dengan orientasi tertentu. Di dalamnya terdapat bale-bale dengan fungsi spesifik, seperti sanggah atau merajan yang terletak di kaja-kangin sebagai pusat spiritual keluarga, bale daja sebagai tempat tidur orang tua, bale dauh untuk menerima tamu, bale dangin untuk upacara adat dan pernikahan, paon atau dapur di kelod-kauh (selatan-barat) yang dekat dengan unsur api, serta lumbung atau jineng untuk menyimpan padi sebagai simbol kemakmuran. Susunan ini mencerminkan integrasi antara aspek praktis, simbolis, dan spiritual. Setiap bangunan bukan hanya memiliki fungsi fisik, tetapi juga fungsi sakral yang berhubungan dengan siklus hidup manusia Bali.

Lebih dari sekadar aturan arsitektur, Asta Kosala-Kosali juga berfungsi menjaga kohesi sosial masyarakat Bali. Dengan mengikuti aturan tata ruang yang seragam, tercipta keselarasan antar rumah tangga dalam satu desa adat. Hal ini menunjukkan bahwa lontar tersebut berperan sebagai instrumen sosial-budaya yang mengikat komunitas. Keterikatan masyarakat terhadap Asta Kosala-Kosali menumbuhkan rasa identitas kolektif. Rumah adat Bali yang mengikuti pedoman ini menjadi simbol ke-Bali-an yang khas, membedakan Bali dari daerah lain di Nusantara. Identitas budaya inilah yang kemudian menjadi daya tarik utama bagi pariwisata budaya di Bali.

Namun demikian, seiring perkembangan zaman, implementasi Asta Kosala-Kosali menghadapi tantangan besar. Modernisasi, urbanisasi, dan kebutuhan praktis membuat banyak masyarakat Bali membangun rumah dengan gaya modern yang sering kali mengabaikan aturan tradisional. Pertimbangan efisiensi ruang, biaya, serta gaya hidup urban kerap bertentangan dengan aturan tradisional yang membutuhkan lahan luas dan biaya besar. Jika masyarakat hanya mengutamakan aspek praktis tanpa memperhatikan filosofi ruang tradisional, maka rumah-rumah Bali bisa kehilangan nilai sakral dan simboliknya. Akibatnya, arsitektur Bali yang khas bisa tergantikan oleh gaya global yang seragam dan homogen.

Meski demikian, nilai-nilai dalam Asta Kosala-Kosali tetap relevan untuk era sekarang. Ada beberapa alasan mengapa lontar ini penting dijaga. Pertama, untuk pelestarian identitas budaya karena arsitektur Bali merupakan salah satu ciri khas yang membedakan Bali di mata dunia. Kedua, untuk menjaga harmonisasi dengan lingkungan karena konsep tata ruang tradisional Bali sangat ekologis dan memperhitungkan arah matahari, angin, serta keseimbangan dengan alam. Ketiga, untuk kepentingan spiritual dan psikologis, sebab penataan ruang yang berlandaskan filosofi Hindu Bali memberi rasa ketenangan dan keterhubungan dengan nilai spiritual. Keempat, Asta Kosala-Kosali memiliki potensi besar untuk pariwisata budaya karena rumah tradisional Bali yang mengikuti pedoman ini menjadi atraksi budaya yang bernilai tinggi.

Untuk menjaga relevansi lontar ini, diperlukan upaya revitalisasi dalam bentuk adaptasi kreatif. Masyarakat Bali dapat memadukan prinsip Asta Kosala-Kosali dengan arsitektur modern sehingga tetap mempertahankan nilai inti meskipun dalam bentuk baru. Misalnya, pembagian ruang utama, madya, nista bisa diadaptasi dalam desain rumah minimalis, sementara sanggah merajan tetap ditempatkan di posisi suci meskipun lahan terbatas. Peran pemerintah daerah, akademisi, dan desa adat sangat penting dalam menjaga keberlanjutan implementasi lontar ini. Pendidikan formal maupun nonformal dapat mengenalkan kembali Asta Kosala-Kosali kepada generasi muda. Di sisi lain, arsitek Bali dapat mengembangkan desain inovatif yang tetap berpijak pada nilai tradisional.

Pada akhirnya, Lontar Asta Kosala-Kosali bukan sekadar teks kuno, melainkan warisan kearifan lokal yang menuntun masyarakat Bali dalam menata ruang dan membangun lingkungan hidupnya. Ia memuat filosofi kosmologis, nilai spiritual, serta aturan praktis yang membentuk wajah arsitektur Bali. Tantangan modernitas memang menggerus praktik tradisional, tetapi dengan revitalisasi yang adaptif, nilai-nilai Asta Kosala-Kosali tetap dapat hidup dan relevan di era kini. Bagi masyarakat Bali, memegang teguh Asta Kosala-Kosali berarti menjaga harmoni dengan Tuhan, sesama, dan alam. Lebih jauh lagi, itu berarti menjaga identitas budaya yang menjadi jiwa dan daya tarik Pulau Bali. Oleh karena itu, melestarikan dan mengimplementasikan Asta Kosala-Kosali bukan hanya kewajiban kultural, tetapi juga investasi untuk masa depan Bali yang berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun