Saya tinggal di Sumatera Selatan sejak tahun 1993. Mengenal pindang dan "menerima" istilah pindang dalam arti keseharian masyarakat Sumatera Selatan sekitar tahun 2006, setelah meninggalkan 'pedalaman' (maaf). Meskipun tinggal di dusun yang jauh di pelosok dan sudah ada masakan pindang, otak belum mau sinkron. Istilah pindang yang melekat dalam pikiran sebagai anak Jawa yang merantau terpaksa karena SK adalah ikan yang digarami dan dibumbui kemudian diasapi atau direbus sampai kering agar dapat tahan lama.
Ikan pindang, ikan yang diawetkan, adalah makanan mewah bagi keluargaku. Ia hadir tidak mesti seminggu sekali di meja makan. Maklum saja, kedua orang tua kami tidak mampu membeli. Semoga mereka berdua mendapat tempat layak di sisi-Nya.
Sementara, pindang yang sering kami temui di Sumatera Selatan adalah olahan daging sapi bagian iga yang dibuat kuah pedas asam (giwang.sumselprov.go.id). Isian selain daging adalah ikan sungai yang dahulu masih sering ditemui di sungai-sungai seperti Rawas, Rupit, dan tentunya Sungai Musi, sungai terbesar dan terpanjang di Sumatera Selatan.Â
Kuah pindang tulang bercita rasa unik. Rasanya adalah campuran asam dan pedas. Kecap kerap digunakan untuk menambah rasa manis serta membuat warna kuah menjadi kehitaman.Â
Apabila pindang tidak menggunakan kecap sebagai bahan tambahan, pindang tulang akan berwarna kekuning-kuningan karena penggunaan kunyit di dalamnya.Â
Melansir giwang.sumselprov.go.id, pindang tulang  adalah salah satu makanan HALAL khas Sumatera Selatan yang dapat disantap dan dipesan di restoran-restoran.
Hari ini, Jumat (6/6/2025), adalah hari raya Idul Adha. Saya yang hanya tinggal berdua dengan istri (saya memberi nama di kontak WA saya, Ibu Negara) melakukan salat Id di Masjid Al Jihad. Masjid Al Jihad adalah masjid kecil di kompleks perguruan Muhammadiyah, tepatnya Madrasah Tsanawiyah D. Tegalrejo, Kecamatan Tugumulyo. Sempat menjadi kampus ITMS (Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatera Selatan) pada awal berdirinya.
Pulang salat, kami berdua pergi keliling kota sambil mengisi bahan bakar dan memantau sistuasi pagi menjelang waktu Zuhur (Jumatan) di sepanjang jalan yang kami lewati.
Di Jalan Lintas yang membelah Kota Lubuklinggau, suasana sangat lengang. Hampir semua toko di kiri kanan jalan tutup, kecuali mall besar yang buka dan menjadi destinasi wisata masyarakat.
Perut yang lumayan keroncongan agak sulit diberi asupan karena sepanjang jalan kami tidak menemukan penjual makanan. ketiak penjalanan hampir usai, menjelang sampai ke rumah, ada warung makan yang buka dan pembelinya cukup banyak. Saya membungkus satu porsi nasi.Â