"Semoga sudah ada warung yang buka ya, Bu." Aku berkata sambil melajukan sepeda motor dan menyusuri jalan raya yang padat dengan kendaraan, baik roda dua maupun roda empat.
Untunglah, ada warung makan yang sudah buka. Kami meminta dua puluh bungkus. Sambil menunggu nasi selesai dibungkus, kami mencari air minum kemasan dan membuat air kopi untuk diantar ke pemakama sebagai konsumsi para penggali.
Awalnya hanya empat orang, ketika air minum itu kami antarkan jumlah para relawan bertambah menjadi sekitar dua puluhan orang. Nasi yang tadinya kami pesan dua puluh bungkus, atas saran teman-teman penggali kami tambah sepuluh bungkus lagi.
Kami kembali ke rumah untuk membuat air kopi. Kopi hangat menjadi penambah semangat dan catu energi teman-teman penggali.
"Mas, aku tinggal dulu, ya. Kira-kira berapa menit lagi siap?" tanyaku kepada salah seorang penggali.
"Tidak sampai sejam, kemungkinan siap," jawabnya.
Kami pun berpamitan untuk bersiap mengantarkan jenazah.
Gotong Royong dan Keihkalasan yang Belum Pudar
Wilayah desa kami terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok dusun satu, dua, tiga, dan empat. Setiap kelompok masyarakat pada masing -masing dusun memiliki tenaga relawan yang ikut menggali kubur jika ada warga yang meninggal sesuai domisili. Akan tetapi, tidak jarang mereka bergotong royong lintas dusun. Ya, meskipun terbagi dalam beberapa wilayah dusun (rukun tetangga) tidak membuat masyarakat menjadi tersekat-sekat.
Dalam suasana lebaran, di tengah kesibukan dan roda kehidupan yang terpusat pada satu kegiatan saling kunjung antarkerabat, mereka rela meninggalkan kegiatannya dan bersama-sama, bahu-membahu menyiapkan tanah makam bagi tetangga yang meninggal.
Tidak ada upah yang mereka minta. Cukuplah makanan, dan minuman sederhana yang dibutuhkan tersedia di samping mereka. Sebagian ada yang membawa air minum dari rumah yang dimasukkan ke dalam botol atau tumbler sederhana karena tidak terbiasa minum air kemasan. Sebagian lagi minum dari air yang disiapkan ahli musibah atau paguyuban amal kematian.Â
Bagi keluarga yang tertimpa musibah, kematian menjadi hal yang membuat mereka berduka. Namun, penggalian liang lahat oleh para relawan yang berjumlah puluhan itu diliputi senda gurau dan sesekali gelak tawa. Bukan karena tidak empati, melainkan pekerjaan berat mengali tanah sebagai tempat peristirahatan terakhir  akan terasa lebih ringan.Â