Dalam sejarah panjang pembangunan ekonomi Indonesia, koperasi selalu didaulat sebagai pilar ekonomi kerakyatan. Namun kisah koperasi di negeri ini tidak selalu membanggakan. Salah satu episode kelam yang masih membekas adalah kehancuran Koperasi Unit Desa (KUD) yang dulunya digadang-gadang sebagai instrumen utama pembangunan ekonomi pedesaan.
Kini, semangat baru itu kembali menyala lewat inisiatif Koperasi Merah Putih. Digagas oleh sejumlah tokoh bangsa dengan dukungan dari berbagai elemen masyarakat dan pejabat pemerintah, koperasi ini disebut sebagai wajah baru perjuangan ekonomi rakyat berbasis teknologi, gotong royong, dan keadilan sosial. Meski sebagian pihak menyuarakan kekhawatiran akan pengulangan kegagalan masa lalu, Koperasi Merah Putih justru memiliki peluang besar untuk menjadi kisah sukses koperasi modern Indonesia---asalkan dibangun di atas nilai kemandirian, partisipasi, dan inovasi.
Belajar dari Masa Lalu: KUD dan Luka yang Belum Sembuh
Pada era Orde Baru, KUD lahir sebagai perpanjangan tangan negara dalam distribusi pupuk, sembako, dan kredit pertanian. Sayangnya, fungsi strategis itu dibarengi dengan praktik top-down yang membuat koperasi kehilangan ruh demokrasi. Pengurus ditunjuk, bukan dipilih. Keputusan diambil oleh birokrat, bukan anggota. Dan ketika krisis moneter tahun 1998 memaksa negara menghentikan subsidi dan keterlibatannya, KUD tak mampu bertahan. Ketiadaan kemandirian, minimnya literasi anggota, serta lemahnya transparansi manajerial menjadi penyebab utama tumbangnya koperasi desa ini.
Kegagalan KUD bukan karena konsep koperasi yang keliru, melainkan karena pelaksanaannya yang dibajak oleh kepentingan kekuasaan dan proyek jangka pendek.
Koperasi Merah Putih: Kesempatan Emas Membangun Ulang Kepercayaan
Berangkat dari konteks tersebut, pendirian Koperasi Merah Putih dapat dilihat sebagai sebuah ikhtiar untuk mengembalikan kepercayaan rakyat pada koperasi. Diluncurkan dengan semangat nasionalisme ekonomi dan inklusivitas digital, koperasi ini mengusung harapan baru bagi petani, nelayan, pelaku UMKM, hingga generasi muda yang selama ini merasa koperasi hanya menjadi simbol formal di buku pelajaran.
Berbeda dengan KUD yang terjebak dalam struktur birokratis, Koperasi Merah Putih menawarkan pendekatan yang lebih terbuka dan partisipatif. Sistem digital menjadi tulang punggung operasional, memungkinkan anggota dari berbagai daerah terhubung, berinteraksi, dan ikut serta dalam pengambilan keputusan. Tidak ada lagi rapat anggota yang eksklusif atau laporan keuangan yang tertutup. Transparansi bukan lagi jargon, tapi sistem.
Digitalisasi dan Demokratisasi: Pilar Kebangkitan Koperasi Baru
Kekuatan utama Koperasi Merah Putih terletak pada kombinasi dua hal: teknologi dan kesadaran kolektif.
Pertama, digitalisasi koperasi memungkinkan tata kelola yang lebih efisien, transparan, dan terdesentralisasi. Dengan platform digital, anggota bisa menyampaikan aspirasi, mengakses laporan keuangan, bahkan ikut serta dalam voting keputusan strategis. Ini bukan hanya efisiensi, tapi juga bentuk nyata dari demokrasi ekonomi.
Kedua, partisipasi aktif masyarakat menjadi pembeda utama. Koperasi Merah Putih tidak boleh dikelola seperti proyek pemerintah atau kendaraan politik, tetapi sebagai rumah bersama yang menjawab kebutuhan ekonomi rakyat. Keanggotaan koperasi harus didasarkan pada kesadaran, bukan mobilisasi. Kesukarelaan, bukan instruksi.
Menjawab Kritik: Antara Kepemimpinan Politik dan Independensi Koperasi
Sebagian kalangan mengkhawatirkan kehadiran tokoh-tokoh politik dalam proses pendirian Koperasi Merah Putih. Namun, kehadiran mereka tidak serta-merta menjadi indikasi kooptasi kekuasaan---selama komitmen terhadap nilai-nilai koperasi ditegakkan.
Yang terpenting adalah bagaimana memastikan bahwa: