Mohon tunggu...
Ellol Mapeysaia
Ellol Mapeysaia Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa

Smengit re Pnumdi re ni kakuatan tan birahi re bannar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Lebih Dekat Sosok Cak Nur

12 April 2024   20:37 Diperbarui: 12 April 2024   20:41 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suryanto Rauf ( Sekertaris UMUM BPL HMI Cabang Ternate)/dokpri

Bertolak dari pengertian Islam di atas, Cak Nur membangun konsep Pluralisme agama dengan memberikan interpretasi terhadap ayat "inna diina inda Allah al-Islam" dengan "sikap tunduk yang benar yang diakui oleh Yang Maha Benar yaitu Tuhan, ialah sikap pasrah kepada kebenaran itu." Konsep ini, meskipun diakui atau tidak oleh pengikutnya sebenarnya mencoba mengadopsi konsep Global Theology yang digagas oleh Willfred Cantwell Smith, serta mengambil unsur kesatuan transedensi agama-agama dari konsep Trancendent Unity of Religion Fritjhof Schuon. Sebagaimana ungkapan Cak Nur: "All religion are the same-different paths leading to the same goal." Pada dasarnya semua agama itu sama, walaupun memiliki jalan yang berbeda-beda untuk tujuan yang sama dan satu.

Tentu jika ditinjau dari worldview Islam, maka konsep Pluralisme agama ini sangat bermasalah, sebab banyak hal yang masih kabur dan belum jelas dalam konsep tersebut, sehingga banyak yang menganggap bahwa Cak Nur hanya melakukan kekacauan dengan melakukan pengaburan semantik atas makna Islam, padahal Islam telah menjadi proper name yang menunjuk pada identitas (huwiyyah) dan kuiditas (mahiyyah) tertentu secara konseptual.

Misalnya tentang tujuannya satu yaitu Tuhan sebagai kebenaran itu sendiri. Sebenarnya konsep Tuhan mana yang dimaksud? Sedangkan setiap agama memiliki konsep tentang Tuhan yang berbeda-beda, apakah itu Deisme, Pantheisme, atau Neo-Platonisme dan sebagainya. Kalaupun alasannya karena sisi kesatuan itu bersifat transenden, sehingga tidak dapat digapai oleh "konsep", maka sejatinya klaim tentang Transcendent Unity itu menjadi tidak bermakna sebab ia berupa "konsep".

Belum lagi klaim kesatuan esoteris ternyata tidak benar-benar mempersatukan, buktinya sama-sama eksponen pendukung gagasan esoterisme saling berbeda dan mengkritik satu sama lain, misalnya kalangan tradisionalis Perennialis seperti Rene Guenon mengkritik Helena Blavatsky tokoh paham Teosofi. Jadi realitas spiritual yang "disaksikan" oleh seseorang itu secara intuitif apakah benar-benar merujuk pada realitas yang sama atau malah berbeda? Tentu para spiritualis tidak dapat membuktikan kecuali berdasarkan klaim subyektif.

Islam memberikan jawaban bahwa sisi esoteris tidak boleh dipisahkan dengan sisi eksoteris, dimana keduanya terkalibrasi, sebab sisi eksoteris memiliki bahasa universal yang dapat dipahami orang yang berakal untuk merujuk pada aspek esoteris, yakni konsep yang benar tentang Realitas Tunggal itu. Pada peran inilah turunnya agama menjadi bermakna.

Ivan Gustav Agueli misalnya, sebagai seorang penganut metafisika Akbarian berkebangsaan Eropa serta sangat mencintai dan mengagumi ajaran Sufi sebagai ajaran multi-dimensi, beliau termasuk pelopor yang mempopulerkan pemikiran Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi di Eropa menyatakan bahwa Esoterisme Islam merupakan Esoterisme yang primordial:

"The Arab variety (lit. l'cole arabe) of Sufism (lit. l'sotrisme musulman) ... is, without doubt, the most beautiful ... It is not only scholastic, or rather logistical, but also psychological and, most importantly, natural or primordial."

Tidak seperti muridnya Rene Guenon yang menganut Esoterisme sehingga menganggap status setiap agama adalah sama secara esoteris, sehingga tidak perlu saling menihilkan, maka beliau termasuk penganut Akbarian yang tulen dan lurus.

Beliau menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang menerapkan metode tauhidic (oneness and totality) pada realitas. Dimana setiap aspek dalam Islam diturunkan dengan prinsip-prinsip yang sama yaitu ketauhidan. Menurutnya tidak ada disparitas antara aspek eksoteris dan esoteris dalam Islam, keduanya sama-sama penting dan berjalan beriringan, tanpa perpisahan apalagi pertentangan antara keduanya. Dimana menurutnya juga (dengan konsep Tauhid), bahwa ini sebabnya dalam Islam sejatinya tidak ada pertentangan yang nyata antara sains dan agama. Beliau menyatakan:

"Islm ... means, therefore, to entrust one's self to God.... The religion of Islam is the Way of Oneness and Totality. Its fundamental dogma is called Tawd: which is the Oneness or the action of realising Oneness. It is a universal faith, and one with degrees---but each of those degrees is truly Islm, viz. every aspect of Islm reveals the same principles. Its formulas are exceedingly simple, but the number of its forms incalculable.... It is the clear distinction, known by all, between the legal and mystical domains that allows Islm to be simultaneously exoteric and esoteric without ever contradicting itself. Moreover, this is why no serious contradictions between science and religion arise amongst Muslims who understand their religion....

Oleh sebabnya, Tuhannya Islam sangat jelas nama dan sifat-Nya, bahkan nama-Nya pun tidak dapat dipertukarkan dengan nama yang lain, sebab akan menimbulkan kekaburan makna, meski dengan alasan memiliki realitas yang sama. Dimana Allah sendiri telah mendeklarasikan nama-Nya: "Innani Ana Allah la ilah illa Ana fa'buduni wa aqim al-shalah li dzikri..." (Taha: 14).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun