Mohon tunggu...
Retno Suryani
Retno Suryani Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis untuk mengikat kenangan

Konsultan Lingkungan, Senang bertemu masyarakat dan anak-anak, Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Kenangan dalam Bolu Pisang

13 November 2022   22:18 Diperbarui: 13 November 2022   22:31 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laki-laki itu kukenal pertama kali lima tahun lalu. Laki-laki denga raut muka tegas yang entah bagaimana alasannya sudah istimewa untukku sejak pertama bertemu. Mungkin, ia tak cukup hangat. Ia juga mungkin tak cukup ramah. Sebaliknya, orang-orang sering bercerita merasa takut kepadanya. Merasa segan kepadanya.

Namun tahukah?

Sungguh sebenarnya ia adalah laki-laki yang baik. Aku ingat, dulu ia sering menyapaku lebih dulu ketika aku selalu malu-malu saat bertemu. Ya, ia sering menyapa lebih dulu. Bertanya kabarku. Bertanya pekerjaanku. Ah, ia bahkan orang pertama yang percaya padaku. Percaya pada kemampuanku. Laki-laki baik yang menjadi perantara Tuhan membuka jalan karirku. Tanpa rasa percaya nya, aku tentu tak akan sampai di posisi saat ini. Aku tak akan memiliki banyak anak-anak itu untuk membantu seluruh projekku.

Sepotong malam paling berkesan tentang dia tak pernah bisa kulupakan. Malam itu mataku sembab karena tangis kehilangan. Sorot mataku nan redup mungkin cukup menggambarkan betapa hancurnya perasaanku. Pening kepalaku. Gontai langkahku. Dan laki-laki itu, ia tersenyum menyapaku. Ya, ia menyapaku ditengah banyak jiwa yang sibuk membisu acuh tak peduli. Ia cuek berkata memintaku rehat istirahat. Aku tentu tak pernah lupa kalimatnya malam itu. Ia yang tak cukup hangat meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Kalimat sederhana yang anehnya demikian bertenaga membantuku kembali baik-baik saja.

Laki-laki yang tak cukup hangat itu memang sejatinya baik. Ia memang tak pernah suka berbicara banyak atau menulis pesan berhalaman-halaman. Namun, ia selalu mau mendengarku. Ia selalu mau kuganggu dengan ceritaku. Mungkin ia kesal dan bosan, tetapi aku selalu boleh merusuh waktunya. Mau menjawabku meski hanya sepotong-sepotong. Mau memberi masukan meski tak pernah suka kalimat panjang. Selalu berpendapat meski tak selalu meneduhkan.

Laki-laki tak cukup hangat itu memang tak suka basa basi. Ia tak pernah suka menjual kalimat manis. Namun, betapa ia menjadi tempat berceritaku yang nyaman. Hari-hari lalu ketika hatiku hancur, luluh lantak, betapa ia yang tanpa sadar memungutinya. Betapa tanpa ia sadar yang menata lagi remahan demi remahan itu.

Laki-laki itu tak suka hal-hal sentimentil. Prinsipnya begitu kuat dan sederhana. Ia sering memintaku tak menjadi orang yang selalu baik kepada siapapun dalam kondisi apapun. Ia selalu memintaku tegas dalam memilih apapun. Memegang prinsip kuat-kuat, dan tidak takut memilih keputusan. Ia tak selalu merespon baik ceritaku. Sesekali ia marah dan kesal karena sikapku yang ragu-ragu dan tak tegas memutuskan. Namun ia cukup mau paham tentangku yang tak pernah suka dimarahi. Takut akan marahnya.*

Bulan kelima tahun ini laki-laki itu pamit pergi dari kotaku. Ia pamit pergi ke kota lain nan jauh berbeda pulau. Ya, ia pamit pergi. Aku  tak lagi bisa melihat wajah tegas nya semudah lima tahun ini. Aku tak bisa lagi tertunduk atau tersenyum malu-malu ketika ia menyapa lebih dulu dalam temu.

Bukankah ia sudah demikian baik selama ini? Bukankah ia menjadi banyak perantara Tuhan untuk hadir sebagai kebaikan dalam hidupku?

Kata pamitnya menyisakan sadar akan perasaanku selama ini kepadanya. Ya, laki-laki tak cukup hangat itu, memang punya tempat istimewa di hatiku. Dan kata pamitnya, membuatku tak ingin ia pergi begitu saja. Kuberanikan diri bertanya masakan apa yang ia suka, makanan apa yang ingin ia makan. Aku ingin memasak untuknya.

Kue bolu. Ya, ia hanya meminta kue bolu kepadaku. Ia hanya ingin aku membuat kue bolu untuknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun