Mohon tunggu...
Suryani MariapulSimanjuntak
Suryani MariapulSimanjuntak Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Prodi S2 Ilmu Manajemen Universitas Pendidikan Ganesha

Penyuka sejarah dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengulik Konsep Ajaran Tri Hita Karana terhadap Komunitas Gepeng di Bali

19 November 2022   10:34 Diperbarui: 19 November 2022   10:32 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belum lama ini Kementerian Kesehatan kembali mengingatkan publik untuk tetap mewaspadai perkembangan virus Covid 19 sub varian terbaru, yaitu Omicron Sub-varian XBB dan BQ.1. Ditengarai, puncak penambahan kasus  Covid-19 di Indonesia akan terjadi di pertengahan bulan Desember hingga awal Januari. Tidak pelak lagi hal ini dapat memunculkan kekhawatiran masyarakat dikarenakan Covid-19 secara nyata berimbas di segala sektor kehidupan kita, baik itu ekonomi, pendidikan, maupun sosial budaya.

Bali, khususnya menjadi salah satu kota yang paling terdampak Pandemi. Redupnya sektor pariwisata di Bali mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaan dan angka kemiskinan naik secara signifikan. Angka kemiskinan di Bali saat pandemi Covid-19 meningkat tajam dari 3,61 persen terendah secara nasional meningkat menjadi 4,72 persen, dan menduduki peringkat keempat. Kondisi Maret 2022, angka kemiskinan Bali menunjukkan penurunan di angka 4,57 persen. Sulitnya lapangan kerja menjadi alasan utama warga miskin turun ke jalan dan mencoba peruntungan sebagai Gepeng (gelandangan dan pengemis).

Sebelum pandemi, gepeng hanya ditemui di lampu lalu lintas beberapa jalan utama di Bali seperti lalu lintas jalan Imam Bonjol dan kawasan Kuta, Badung namun setelah pandemi, gepeng semakin mudah ditemui di kawasan Kuta Utara hingga Kuta Selatan. Modus yang digunakan pun beragam, mulai dari menjual tisu, menggendong bayi hingga mengamen dengan berpakaian adat Bali. Ditengarai, penghasilan para gepeng cukup menjanjikan yaitu bisa meraup 100 hinggu 300 ribu perhari sehingga banyak gepeng yang kembali turun ke jalan secara diam-diam meskipun telah berkali-kali diamankan oleh petugas Satpol PP. Lalu, bagaimanakah fenomena sosial Gepeng ditinjau dari konsep Tri Hita Karana?

Tri Hita Karana merupakan penyebab, sehingga kesejahteraan dan kebahagiaan tersebut bersumber dari masing-masing bagian Tri Hita Karana yang dapat terimplementasi dengan baik. Ketiga sumber kebahagiaan tersebut yaitu keharmonisan yang bersumber dari Parahyangan, yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan sang pencipta ; Pawongan, yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesamanya; dan Palemahan, yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Pawongan sebagai salah satu penyebab keharmonisan antara manusia dengan sesamanya, seharusnya dapat menjadi konsep yang dapat membentuk kepedulian kita terhadap sesama yang membutuhkan karena sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup menyendiri. Dalam konteks ini, tentunya memberi uang pada gepeng bukan menjadi implementasi yang tepat untuk konsep pawongan. Alih-alih membantu mereka, hal tersebut nyatanya melemahkan semangat mereka untuk berkarya sesuai dengan kompetensi dan skill-nya. Dengan kata lain, memberi uang pada gepeng malah menjadi reward bagi kemalasan mereka yang mungkin saja berbuntut pada masalah sosial lainnya. Sebaliknya, mengadakan balai pengobatan gratis, mengajarkan keterampilan hingga sosialisasi pentingnya penggunaan alat kontrasepsi sebagai solusi untuk memberikan jarak pada kelahiran dapat menjadi opsi implementasi Pawongan yang bisa kita terapkan pada gepeng

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun