24 Maret 2023, Kartika (23 tahun), seorang pekerja rumah tangga (PRT) migran asal Indonesia mengalami kekerasan serius ketika ia bekerja di Hongkong. Kartika mengalami luka-luka seperti bekas pukulan, penyiraman air panas,dan luka bekas benda tumpul. Tidak hanya di luar negeri, kekerasan domestik juga banyak terjadi pada pekerja rumah tangga dalam negeri. Perempuan berinisial SHK, asal Pemalang, Jawa Tengah misalnya, mengalami tindak kekerasan serius dari majikan dan rekan PRT-nya. SHK mengalami kekerasan seperti pemukulan yang menggunakan tangan hingga yang menggunakan peralatan rumah tangga. Bahkan, selain kekerasan ia juga mengalami bentuk pelecehan yang sangat tidak manusiawi yaitu dirantai dan dikurung hingga dipaksa memakan kotoran hewan (anjing).
Cerita Kartika dan SHK merupakan segelintir kisah bagaimana pekerja rumah tangga Indonesia memang sangat rentan mengalami kekerasan domestik ketika mereka bekerja. Fenomena kekerasan terhadap pekerja rumah tangga mirip dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus-kasus di atas hanyalah beberapa yang muncul dan tersorot di media, tetapi masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan serupa terhadap pekerja rumah tangga yang tidak terungkap dan tidak mendapatkan pertolongan ataupun keadilan.
Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada isu pekerja rumah tangga, mencatat dari tahun 2017-2022 terdapat lebih dari 2.600 kasus kekerasan yang dialami oleh pekerja rumah tangga. Dari catatan kasus tersebut, 90% korbannya adalah perempuan. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga sangat rentan untuk mengalami kekerasan. Catatan International Labour Organization (ILO) juga menunjukkan sektor pekerja rumah tangga di Indonesia memang didominasi oleh perempuan. Banyaknya kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga perempuan sudah seharusnya mendapatkan respons serius dari pemerintah.
Secara kuantitas, jumlah pekerja rumah tangga juga cukup berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan data BPS di tahun 2015 jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia mencapai 4 juta orang. Di luar negeri, pekerja rumah tangga perempuan juga menyumbang sekitar 60-70% dari total sekitar 9 juta pekerja migran Indonesia. Namun, para pekerja rumah tangganya sendiri, terutama perempuan harus menanggung kekerasan dan bentuk ketidakadilan dalam kompensasi pekerjaan. Masih berdasarkan catatan Jala PRT, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dari tahun 2007 hingga tahun 2022 mengalami tren peningkatan. Selain kekerasan, mereka juga mengalami ketidakadilan seperti tunggakan upah, PHK sepihak, pengurangan gaji, hingga tidak mendapatkan jaminan kesehatan atau dana THR.
Mengapa kekerasan terhadap pekerja rumah tangga perempuan banyak terjadi?
Dalam melihat kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga di Indonesia, terdapat beberapa alasan yang membuat kasus-kasus seperti ini terjadi, mulai dari segi historis, kultural, status ekonomi, hingga ketiadaan payung hukum. Pertama, dari sejarahnya, PRT selalu dianggap status sosialnya lebih rendah dari majikannya. PRT juga dijadikan simbol kekuatan ekonomi bagi rumah tangga yang mempekerjakannya. Begitupun secara kultural, PRT dianggap sebagai ‘pembantu’ yang dianggap sebagai jenis pekerjaan rendahan di kalangan masyarakat–karena tidak memerlukan keterampilan atau secarik ijazah. Secara pendidikan, PRT ini banyak berasal dari kelompok berpendidikan sekolah menengah dasar. Dikutip dari data Sakernas BPS, PRT di Indonesia yang menempuh pendidikan hingga sekolah menengah pertama berjumlah sekitar 63,53% dan yang menempuh hingga pendidikan SMA.
Selain dianggap sebagai tenaga kerja yang tidak berpendidikan, PRT juga tidak memiliki bargaining power untuk melawan relasi kuasa antara mereka dengan majikannya. Mereka secara ekonomi sangat bergantung kepada majikan, sedangkan majikan mereka akan dengan cukup mudah untuk mencari PRT baru apabila PRT yang mereka pekerjakan tidak bekerja sesuai keinginan mereka. PRT juga sering kali digaji murah dan tidak sesuai dengan beban kerja. Bahkan, banyak juga kasus-kasus PRT yang telat dibayar upahnya atau tidak diberikan sama sekali.
Terakhir, tetapi yang paling krusial adalah karena ketidakhadiran peran negara dalam mengakui dan melindungi PRT sebagai tenaga kerja. PRT masih belum diakui secara undang-undang sebagai pekerjaan formal di Indonesia. Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja rumah tangga tidak dikategorikan sebagai pekerja/buruh. Padahal, seharusnya mereka sudah masuk ke dalam kategori tenaga kerja atau buruh karena menghasilkan jasa. Akibatnya, PRT tidak mendapatkan hak-hak dasar sebagai tenaga kerja dan jaminan perlindungan. Ketiadaan payung hukum dalam melindungi PRT menjadi celah untuk banyak terjadinya kasus kekerasan terhadap mereka–banyak kasus-kasus kekerasan terhadap PRT yang tidak diproses hukum.  Â
Respons pemerintah terhadap isu pekerja rumah tangga
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mencoba merespon masalah terkait sektor tenaga kerja rumah tangga dengan melakukan pembahasan dan perumusan Rancangan Undang-Undang  Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pembahasan terkait RUU PRT ini sebenarnya telah dibahas di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono. RUU PRT ini, diharapkan, nantinya akan menjadi payung hukum untuk sektor pekerjaan PRT yang menjamin hak-hak dan perlindungan kepada mereka sebagai tenaga kerja. RUU PRT masuk ke dalam prolegnas pertama kali di tahun 2004. Namun, di tahun-tahun berikutnya, RUU PRT hanya mengendap di prolegnas. Baru di tahun 2021, RUU ini masuk ke dalam RUU inisiatif DPR. Namun per 2023 ini, status pengesahannya masih tertunda dan belum masuk ke dalam rapat paripurna. Nampaknya, isu pemilu 2024 menggeser pemerintahan dan masyarakat dalam mengawal pengesahan RUU ini.
Pelajaran penting bagi pemerintah
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan ini seharusnya menjadi urgensi bagi pemerintah untuk mengesahkan RUU PRT. Kehadiran RUU PRT ini menjadi sebuah kekuatan formal untuk meningkatkan status perempuan pekerja rumah tangga sebagai salah satu tenaga kerja penyedia jasa di Indonesia. Aspek legalitas dalam pekerjaan sangat dibutuhkan oleh semua jenis pekerjaan. Pengesahan RUU PRT ini juga sebenarnya bukan hanya sebagai upaya perlindungan hukum terhadap para pekerja rumah tangga, tetapi juga untuk menjamin dan memberikan insentif-insentif ekonomi yang selama ini absen untuk para PRT seperti jatah cuti, ketetapan upah, jaminan kesehatan, dan masih banyak lagi.Â
Bentuk-bentuk eksploitasi dan kekerasan tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh penyalur PRT, majikan, dan rekan kerja mereka juga bisa diminimalisir dan lebih mudah untuk dibawa ke jalur hukum ketika RUU PRT ini disahkan. Di sisi lain, RUU PRT ini menjadi salah satu pendorong untuk menjamin perlindungan bagi perempuan di sektor pekerjaan. Begitupun dalam sisi ekonomi, para pekerja rumah tangga perempuan juga bisa mendapat upah dan kompensasi sesuai beban kerja dan haknya sebagai tenaga kerja penyedia jasa. Oleh karena itu, dua hal tersebut seharusnya sudah menjadi urgensi bagi pemerintah untuk mengesahkan RUU PRT ini. Pengesahan RUU PRT juga bisa menjadi simbol keseriusan pemerintah dalam menangani masalah kekerasan terhadap tenaga kerja, terutama perempuan, dan keberpihakannya kepada kelompok tenaga kerja kerah biru di Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H