Mohon tunggu...
Surya Al Bahar
Surya Al Bahar Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri surabaya

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat Unesa dan PAC. IPNU Kecamatan Glagah. Selain itu, kesehariannya sering menulis puisi, cerpen, dan opini untuk konsumsi sendiri dan aktif di beberapa kelompok diskusi, salah satunya kelompok diskusi Damar Asih. Selain di kompasiana, ia juga sering mengabadikan tulisannya di blog pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bagaimana Seharusnya Media Pers dalam Mendidik Masyarakat

17 Februari 2020   15:44 Diperbarui: 17 Februari 2020   19:14 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: mediaindonesia.com

Seperti pada peringatan sebelumnya, tiap tahun pers selalu diperingati sebagai hari kebebasan seseorang untuk menuangkan kreatifitas pendapatnya berupa narasi yang wujudnya bermacam-macam. Tujuan utamanya untuk memudahkan ketika arus informasi berjalan ke masyarakat, turun ke wilayah arus bawah yang membutuhkan informasi lebih banyak. 

Oleh karena itu, pers dijadikan sebagai lingkup umum media yang menunjang kemudahan orang agar mencapai tujuannya, yaitu menyuarakan informasi sekaligus menyebarnya. Salah satunya media online, secara harfiah, media dimaknai kemudahan atau alat manusia supaya apa yang diinginkan bisa terlaksana dengan lancar. Seperti halnya pada media pembelajaran, dengan media pembelajaran, seorang siswa akan lebih mudah memahami materi yang disampaikan oleh guru, pun itu juga bisa dijadikan sebagai bentuk inovasi di pendidikan. Akan tetapi media dalam hal ini mempunyai basis massa atau basis online, di mana keterkaitanya mencangkup banyak orang dan keterpengaruhannya pun menyeluruh di segala aspek informasi masyarakat, namun secara maya karena kita sebagai objek yang dipengaruhi.

Hal itulah yang saat ini bisa kita lihat bersama, sudah bukan menjadi rahasia, budaya hedonisme media massa sudah merajalela. Semua orang bisa mengakses informasi bermacam-macam bentuknya secara bebas, sehingga memunculkan kebiasaan konsumtif berlebihan di kalangan masyarakat. Tidak memperhitungkan usia, baik muda maupun tua, semua elemen masyarakat bisa berselancar mencari informasi secara universal dan bebas. 

Kita seharusnya sudah bisa merasakan akibatnya jauh-jauh hari, karena semakin lama media online bisa bergerak di sepanjang waktu tanpa batas. Maka saat itu pula media online semakin hari akan kehilangan fungsi sesungguhnya, yang seharusnya media online sebagai alat pencerdas sekaligus mendidik masyarakat lewat produksi informasinya, justru sekarang sudah berjarak jauh dengan hal itu. Pembodohan atas nama media massa sering terjadi. Hoax bisa bergerak masif merajai media massa, kita tidak bisa membendung bahkan mencegahnya. Menurut detiknews (1/5/19) memberitakan bahwa pada Pilpres 2019 kemarin Kementrian Kominfo mencatat ada sebanyak 486 hoax yang berhasil diidentifikasi, 209 nya berkategori politik.

Seperti pesan Presiden pada pidato peringatan Hari Pers Nasional kemarin yang dilansir oleh pikiranrakyat.com (8/2/20), Presiden mengatakan, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mendapatkan informasi yang sehat dan baik. Informasi yang baik memerlukan jurnalisme yang baik dan ekosistem yang baik. Ekosistem media harus dilindungi dan harus diproteksi sehingga masyarakat mendapatkan konten berira yang baik. Pesan Presiden tersebut sangat menitik beratkan pada konten yang dipilih oleh seorang jurnalis, sehingga perlunya protek yang memang harus benar dilakukan.

Makanya, diusahakan harus ada media protek sendiri yang bertugas sebagai penyeleksi konten informasi sebelum masuk dan dibaca masyarakat. Artinya apa, ketika suatu pers dimaknai sebagai tempat kebebasan berpendapat, maka kebebasan itu sendiri menjadi bias karena dibatasi oleh koridor-koridor yang sudah semestinya diperhatikan kembali. Dari awal memang disinyalir bahwa di dalam kebebasan sudah menjadi keadaan nyata tidak ada kebebasan, yang ada cuma batasan-batasan itu sendiri. Sebagai pelaku insan pers setidaknya mampu mengerti hal tersebut, bagaimana mengolah media yang sedemikian rupa agar tujuannya jelas untuk mendidik masyarakat.

Era sekarang, media massa tidak bisa lepas dari genggaman, justru dengan media massa dunia ada di genggaman. Orang lebih mudah ke sana ke mari semaunya, berjalan bebas sesuai kehendak hatinya. Informasi bisa didapatkan tanpa harus ia menuju ke tempat kejadian peristiwa. 

Bagaimana tidak, satu orang bisa memegang beberapa akun media massa, khususnya media sosial yang lebih dari satu, ada fb, instagram, line, dan lain sebagainya. Seyogyanya, pemanfaatan media massa pun juga mengikuti arus perkembangannya. Tidak bisa dipungkiri, kecenderungan dan ketergantungan orang pada media massa sangatlah kuat, kita tidak bisa melepasnya lama-lama, ada semacam reflek otomatis yang membuat kita tidak bisa mejaga jarak waktu yang agak jauh.

Seperti halnya sayap burung yang membantu terbang ke mana-mana. Media juga mempunyai peran serupa pada saat ini. Ia menjadi sayap pengembang pada semua bidang, baik formal dan non formal. Contohnya partai politik, organisasi, komunitas, dan lembaga-lembaga yang membutuhkan publikasi tinggi supaya masyarakat mengetahui segala kegiatan yang mereka lakukan. Sama halnya sebagai wadah pencitraan atau eksistensi semata. Maka jangan heran, sekarang ada banyak cara untuk menarik simpati masyarakat agar mau membacanya, semacam transformasi kemodernan besar-besaran, entah itu dari tampilannya, sisi unik kontennya atau muatan informasi yang terkandung.

Apalagi dengan media online, semua bisa lebih cepat diproduksi dari pada media cetak yang harus menunggu beberapa hari. Dengan media online, selang waktu kejadian dengan pemberitaan hanya berjeda beberapa jam, semua langsung bisa membaca dan mengakses berita tersebut, tanpa harus beli koran dulu, sambil duduk ngeteh atau ngopi pun sudah bisa dinikmati. Namun jika ditelisik lagi, Itu juga berpengaruh pada sistem mekanisme dalam dunia surat kabar cetak. Kalau di luar negeri, ada majalah Newsweek yang merugi, bahkan edisi cetak The News York Times juga mengalami penurunan soal iklan.

Di Indonesia mungkin masih ada beberapa perusahaan yang masih mempertahankan media cetak, tapi juga menjalankan media onlinenya, keduanya sama-sama dijalankan, akan tetapi media cetaknya yang lebih masif digerakkan. Seperti majalah sastra Horison, dulu majalah Horison menjadi acuan para sastrawan, semua berlomba-lomba agar tulisannya bisa dimuat di sana. Karena anggapan mereka, ketika karyanya sudah dimuat di sana, maka status sastrawannya sudah bisa diakui banyak orang. Namun saat ini sudah berbeda, majalah Horison beralih ke online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun