Mohon tunggu...
Surya Al Bahar
Surya Al Bahar Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri surabaya

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat Unesa dan PAC. IPNU Kecamatan Glagah. Selain itu, kesehariannya sering menulis puisi, cerpen, dan opini untuk konsumsi sendiri dan aktif di beberapa kelompok diskusi, salah satunya kelompok diskusi Damar Asih. Selain di kompasiana, ia juga sering mengabadikan tulisannya di blog pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Ada Satu Sisi, Melainkan Dua Sisi Belakang dan Depan

26 September 2017   09:31 Diperbarui: 26 September 2017   09:35 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Belakang dan depan adalah cerminan kehidupan manusia, sebab pada dasarnya hidup itu harus seimbang. Dan sesuatu yang diseimbangkan, tentunya dia harus memiliki dua sisi yang masa dan kadarnya sama. Di situasi konteks seperti ini aku hanya sekadar berterima kasih, kamu sudah meluangkan waktu untuk memperhatikanku. Seluk beluk yang ada pada struktur cover hatiku, kamu mampu melihat dengan penglihatanmu yang tingkatannya paling tinggi jika dibandingkan dengan orang lain. Tidak ada seorang pun yang mampu menilai seperti dirimu, aku haturkan banyak terima kasih atas perhatianmu kepadaku "

Jika kemampuanku adalah melihat sesuatu yang abstrak, aku akan mencoba melihatnya dengan sebuah teori-teori yang tidak akan pernah bisa sampai melihat bahkan menilaimu. Aku perkecil teori itu, aku persempit teori itu. Tidak akan pernah aku perdalam maksud dan tujuan teori itu. Perihal orang yang mencari kekuatan dan kelemahan suatu teori, mereka adalah orang yang sanggup belajar memahami keadaan pada dririnya sendiri. Dia mampu menyesuaikan kondisi pada dirinya untuk menyeimbangkan suatu keadaan agar mempunyai kecocokan pada pola pikir dan anlisisnya. Tentu tidak sebegitu mudahnya orang menilai orang lain yang sesuai dengan pendapatnya, pasti dia menganalisis sampai yang paling dalam tentang apa saja yang ada di dalam diri orang lain tersebut. Material yang dibuat bahan penelitian, mungkin orang yang menilai sudah menemukan banyak tentang hal itu, sehingga kalau dirasa sudah cukup untuk memenuhi bahan penilaian, maka dengan langsung dia si orang yang menilai mampu mengeluarkan semua unek-uneknya kepada orang lain, tetapi bukan orang yang dinilai.

Teori itu sama halnya dengan sejarah, dia akan tetap diam di suatu titik koordinat teori itu berasal. Pergeseran suatu teori bisa terjadi karena analisis manusianya. Kalau tentang penggunaan teori tersebut, itulah hak-hak dari sang pengguna, teori tersebut dibutuhkan atau tidak. Tapi tidak kalah pentingnya yaitu teori atau metode adalah suatu alat yang digunakan untuk penilaian dalam situasi yang terpojokkan, disamping melupakan sisi kemanusiaannya.

Kelemahan-kelemahan dari sebuah penilaian adalah kebanyakan mereka kurang berani untuk mengungkapkan penilaiaannya tersebut langsung kepada orang yang dinilai. Kurangnya keberanian itulah yang menyebabkan naiknya pengguna akun-akun media sosial. Di dalam lingkup wilayah tersebut, orang disuguhkan dengan situasi yang paling sulit untuk menilai. Oarng dibuat bingung dengan siapa yang benar dan siapa yang salah. Jangankan siapa yang benar dan siapa yang salah, untuk mempunyai kejernihan dalam berpikir, sangatlah sulit. Dengan seenaknya kita disuruh bagus dalam berpikir, "Berpikirlah yang terstruktur, tersistem dengan analisis yang hebat", bagaimana orang berpikir, kalau setiap detik, setiap menit, setiap jam kita disuguhkan dengan tamu-tamu yang spesial, saking spesialnya, kita sampai dipersulit melihat sisi positif dan negatifnya orang lain. Hidup itu kan harus seimbang, di sisi lain dari positif pasti ada negatif, dan juga sebaliknya, di sisi negatif pasti ada sisi negatif yang mungkin tidak pernah terlihat orang lain. Hidup itu seperti dua sisi atau dalam bahasa seni bisa menjadi dwi matra. Ada sisi depan dan ada sisi belakang, tinggal bagaimana kita menaruh sisi kehidupan manusia. Ada depan ada belakang, depan bisa terlihat, belakang sulit melihat kalau dari depan. Sedangkan belakang mudah dilihat kalau masuk dari sisi belakangnya.

Aku kurang mengerti efisiensi penilaian, aku menulis ini dalam keadaan sakit, perutku mual-mual. Perut yang selalu berbunyi meronta-ronta. Aku kurang mengerti asal mula kenapa tubuhku bisa mengalami seperti ini. Aku memahami diriku saja sulitnya minta ampun. Padahal tadi malam saya habis ngopi sampai pukul dua belas malam. Disana saya bercengkrama, bercanda tawa dengan teman-teman. Lha kok bisa, keesoakan harinya perutku terasa nyeri. Penyakit lama kambuh kembali. Sengaja memang aku mencoba mencari sebab kenapa bisa seperti ini dan itu sulit untuk saya menilai. Mungkin aku hanya bisa mengira-ngira, bisa jadi karena ini, mungkin karena itu. tapi untuk memastikan saya belum bisa, atau mungkin tidak akan pernah bisa. Sebab hak untuk tentu menentukan bukan kuasa saya. 

 Sesuatu yang seimbang tidak mungkin mempunyai hanya satu sisi. Satu sisi tidak akan pernah bisa menyeimbangkan satu sisi di depannya. Jadi kalau sisi yang seimbang, orang lain harus bisa mempertahankan suatu masa dan berat kedua sisi tersebut. Sebab keseimbangan bergantung pada massa. Keseimbangan bisa jadi mempunyai kecocokan yang relevan kepada lawan jenisnya. Tapi terkadang kedua lawan jenis tersebut sangat bertentangan dalam pola penerapannya. Contohnya ada baik dan buruk. Baik dan buruk adalah kata sifat yang memiliki dua sisi pandang yang berbeda. Tinggal bagaimana sikap orang lain yang harus menyesuaikan terhadap pola keseimbangan tersebut. Kalau itu saya jadikan sebagai bekal untuk kehidupan mungkin bisa saja. Dalam hidup juga tidak mungkin orang berbuat baik terus, berbuat buruk terus. Pengkondisian atas siakp itu sangat penting untuk bergaul dalam kehidupan sosial. Penempatan sikap juga sangatlah penting untuk bergaul. tidak ada salahnya orang baik dan orang buruk. Salah dan benarnya hanya ada pada orang yang tidak bisa menilai secara dwi matra.

Maka dari itu, aku harus bisa mempunyai rumus skala prioritas saya sendiri. Ada suatu keadaan yang harus ditangkap dan ada suatu keadaan yang semestinya dibuang. Tidak semua keadaan harus diterima semua. Justru kita sendiri yang akan rugi kalau menerima suatu keadaan yang tidak seharusnya kita terima. Aku harus mengerti betul kadar dalam diri saya sampai mana. Kepantasan untuk menyikapi suatu hal juga sangat penting. Aku juga harus bisa menyetarakan antara kondisi, situasi, keadaan, kadar, maksimal dan minimal suatu keadaan untuk timbal baliknya kepada perkembangan apapun yang ada pada tubuh personal saya. Sesadar sadarnya, saya usahakan untuk menjadi seorang yang relativ aman. Aman untuk masa depan dan aman untuk persoalan masa kini.

Surabaya

Selasa, 26 September 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun