Mohon tunggu...
Ulil Albab
Ulil Albab Mohon Tunggu... Mahasiswa, Guru KMI Gontor -

Staf Pengajar Junior Islamic Teacher Training College Ponorogo

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sarapan Lezat Makarel Bergizi Nasionalisme

24 Desember 2017   19:46 Diperbarui: 24 Desember 2017   20:06 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini, 16 November 2016, saya hitung sudah tiga waktu makan beruturut-turut kami menyantap hidangan ikan. Hal ini tentu merupakan suatu kesempatan yang istimewa bagi kami para santri pesantren. Mengingat bahwa pada keadaan normal, kami hanya mendapat jatah menu istimewa di dapur yang salah satu macamnya adalah ikan tidak lebih dari satu kali dalam satu pekan. Yaitu pada hari Jum'at siang. Walaupun hanya ikan laut, menu tersebut tentu jauh lebih menggungah selera makan dibandingkan dengan sayur tahu merah atau Lombok giling dengan nasi putih saja yang seharusnya menjadi menu santap sarapan kami pagi itu.

Setelah saya telusuri, menu ikan tambahan tersebut ternyata ada kaitannya dengan kunjungan Ibu Susi sang Mentri Perikanan yang terkenal dengan idiom "Ledakkan!" itu ke pesantren kami beberapa waktu yang lalu. Disamping bersilaturahim dengan pimpinan pesantren, Bu Susi juga menyerahkan lauk tambahan untuk dapur umum.

 Dalam memberikan ikan gratis tersebut, Ibu Susi ternyata tidak tanggung-tanggung. Kepada kami, beliau menyerahkan beberapa truk ikan segar yang total beratnya mencapai 4,5 ton.

Ribuan ekor ikan makarel yang kini sudah berada dalam organ pencernaan tubuh para santri itu ternyata tidak hanya lezat untuk dimakan sebagai santapan, melainkan juga lezat untuk dijadikan bahan perbincangan di meja makan tentang dari mana ikan-ikan itu berasal.

Awalnya saya mengira bahwa Bu Susi sengaja mengerahkan armada kapal nelayan untuk menangkap ikan guna memperbaiki gizi para santri. Namun dugaan saya ternyata salah. Ikan-ikan tersebut nyatanya adalah hasil rampasan dari kapal nelayan asing yang berani-beraninya menangkap ikan di perairan Nusantara secara illegal. Membicarakan hal itu, suasana sarapan sebelum masuk kelas itu terasa semakin seru, dan ikan-ikan yang kami makan rasanya bertambah gurih saja.

Menyadari bahwa ikan-ikan dari laut Indonesia yang kami makan itu hampir saja dicuri oleh asing, saya marah-marah sendiri dalam hati namun juga merasa bangga pada saat yang sama. Kalau ikan yang dihibahkan ke kami ini baru sebagian kecil dari semua ikan yang berusaha dicuri, bukankah itu berarti sumber daya laut kita sebenarnya sangat potensial? Dan faktanya memang wilayah laut Indonesia hampir 2/3 dari total seluruh wilayah negara ini.

Selesai menghabiskan sarapan pagi itu, saya baru menyadari suatu hal. Ternyata Ibu Susi menyuruh kami makan ikan bukan hanya agar ikan-ikan tersebut tidak terbuang sia-sia. Lebih dari itu, saya yakin bahwa sebenarnya maksud Bu Susi adalah agar kami merasakan kekayaan Indonesia, agar kami semua para santri ikut merasa bertanggungjawab untuk menjaganya.

Pintar sekali Bu Susi ini, pikir saya dalam kepala. Ternyata selain sudah memenuhi kebutuhan protein kami untuk tumbuh dan berkembang, beliau juga sudah menambahkan kandungan nasionalisme pada ikan-ikan yang kami makan. Maksud beliau, agar kami generasi muda ini tumbuh menjadi generasi yang pintar dan kuat, agar bisa menjaga ibu pertiwi kami dan mampu mengelola kekayaannya secara mandiri kelak. Atas ikan-ikan berprotein yang telah engkau racuni dengan nasionalisme dosis tinggi itu, kami ucapkan terima kasih Bu Susi! Ledakkan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun