Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gadis Pesisir Desa Jala

26 Oktober 2021   06:29 Diperbarui: 26 Oktober 2021   06:59 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DI atas hamparan pasir putih, anak itu bermain. 

Membuat istana dari pasir, menggaris-garis dengan membentuk gambar kotak-kotak sejurus kemudian loncat-loncat. Saya mengamatinya tidak seberapa jauh. Kuda besi merek jupiter yang saya parkir tidak jauh dari bibir pantai. Anak itu tampak ceria. Tidak soal baju yang dikenakannya sudah lusuh atau tidak. 

Tidak khawatir di telang ombak, lalu tenggelam di bawa arus hingga ke dasar laut. Ia memandang laut serupa rumah kedua yang menjadi tempat bermain, tanpa khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Hari semakin sore. Megah-megah tampak kemerah-merahan. Perahu berjejer serupa motor tukang ojek yang sedang menunggu penumpang. Saya lalu duduk di gladak perahu. Melepas pandang pada sekitar. 

Air laut cukup tenang. Ombak menghempas pantai dengan cukup anggun. Buihnya serupa kristal. Saya kemudian berpijak di atas pasir putih serupa tepung ini. Sesekali lari-lari kecil di kejar air laut.

Saya kemudian menghampiri anak itu. Tampaknya dia terlihat capek. Melihat saya datang, tampaknya dia malu-malu. Tapi tidak menjauh. Tatapannya penuh dengan pertanyaan. Saya asing baginya. Mungkin dilihatnya sebagai orang yang datang dari negeri anta beranta.

 Dia tampaknya tahu saya bukan warganya. Bukan pula nelayan apa lagi keluarganya. Saya mendekat dan mengajaknya berbincang. Mengajukan tanya tentang nama dan identitasnya. Saya serupa penyidik yang mencecar korban dengan beragam pertanyaan. Tapi pada anak ini saya ingin bersahabat.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dia menjawab datar. Suaranya hampir tidak terdengar karena di telang suara ombak. Dia masih duduk di sekolah dasar. Bapaknya seorang nelayan yang sabang hari membawa hasil tangkapan dari ruang samudra. Rumahnya tidak jauh dari bibir pantai. Ibunya tidak pernah menaruh khawatir kalau dia bermain di bibir pantai. Terbiasa. 

Dia anak sematang wayang yang ingin selalu menemani bapaknya menantang ombak lalu menarik jala di tengah lautan luas. Tapi, karena masih belum cukup dewasa, bapaknya belum berani membawanya ke tengah lautan.

"Nanti ada saatnya kamu bersama bapak naik perahu" Ujarnya, menirukan pesan bapaknya.

Dia sudah bisa membaca dan menulis. Bahkan dia sesekali mengajari bapaknya kala malam meninggi. Pasalnya, bapaknya tidak pernah mengenyam pendidikan. Sejak kecil hanya bergumul dengan laut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun