Dulu, gunung di depan tempat kami duduk ini masih terawat dengan baik. Orang-orang tua dulu sangat peka menjaga alam. Mereka memang bukan lulusan sekolah tinggi dengan gelar mentereng. Bahkan tidak paham teori yang diekspor dari barat. Tidak banyak yang tahu tentang ukuran pohon, menebang lalu menjualnya ke pengepul.
Mestinya mereka yang membangun rumah dari kayu. Karena sebagian besar kebutuhan rumah tangga, acara hajatan di kampung dan acara besar lainnya untuk memasak membutuhkan kayu bakar yang cukup.Â
Tapi, kala itu tidak ada upaya menebang habis jutaan pohon yang ada di gunung. Mereka tetapi bersemai dengan alam. Hutan tetap terjaga. Lestari alam harmonis.
teknologi buah dari ilmu pengetahuan, malah semakin tidak manusiawi manusia terhadap alam.
Tapi kini, ketika zaman elpiji, kompor dan gas sudah marak digunakan, malah hutan massif dirusak karena keangkuhan segelintir manusia. Manusia semakin membingungkan. Semakin canggihnya
Teori tentang kehutanan di lembaga-lembaga pendidikan hanya berhenti di meja kuliah dan rakusnya birokrasi. Para politis cuci mulut dengan selentingan yang tidak martabat, ketika ada penggundulan. Mereka umumnya menjual janji sampah ketika gelora protes datang bergelombang dari masyarakat.
Di sini. Di tempat kami berpijak, kami membangun mimpi untuk melihat gunung kembali asri. Mengajak mereka yang memiliki kepedulian yang sama. Karena akan bergelora satu tujuan jika dilakukan secara bersama-sama. Dan di tempat ini kami menghamparkan langkah-langkah kongkrit.
Apakah Anda ingin bergabung?