Tiba-tiba motor berhenti tidak jauh tempat saya memungut sampah di pinggir pantai. Sejurus kemudian saya mendongak dan menatapnya. Dan sontak saja saya disapa dengan penuh hangat dan penuh persahabatan dari seseorang yang tidak asing di mata saya.
"Pak Raden't bune haba (apa kabar), alae ampode eda angi waliee (baru bisa bertemu lagi) " Sapanya dengan aksen daerahnya yang cukup kental.
Hanafi. Ya, dialah Hanafi. Karena dirinya lebih berumur, saya biasanya menyapanya dengan panggilan pak Hanafi. Saya pun menghampirinya dan bersalaman. Senyum merekah di bibirnya, dan saya membalasnya dengan cara yang sama.
Saya sudah mengenalnya cukup lama. Tapi persahabatan itu terjalin erat, bermula ketika saya bertemu dengannya ketika saya masih berstatus mahasiswa di kota Makassar 2017 silam.Â
Dalam suatu tujuan, Pak Hanafi sempat singgah di Kota Makassar beberapa hari sebelum menuju pulau Kalimantan. Pada saat itulah saya bertemu dengannya. Beberapa hari di kota para Daeng, saya sering menemaninya dalam banyak kesempatan. Bahkan  ketika itu saya sempat mengantarnya ke bandara Sultan Hasanuddin Makassar saat pagi belum benar-benar menyapa semesta.
Tapi ketika dirinya kembali melanjutkan perjalanan ke kota tujuan, sejak itu kami pun jarang berbagi kabar apa lagi bertemu. Walaupun sempat berbagi nomor kontak masing-masing, tak lantas menggerakan jemari untuk saling menghubungi.
Pak Hanafi berdomisili di desa Jala. Bahkan rumahnya tidak seberapa jauh dari bibir pantai. Bahkan selain menjadi penguasa hasil laut, dirinya adalah seorang pegawai negeri sipil di sekolah menengah pertama di desa tempat saya tinggal.
Di mata saya, Pak Hanafi adalah orang baik, cepat akrab, mudah beradaptasi dalam situasi apa pun. Bahkan saya mengangumi kepribadiannya. Walaupun seorang pegawai negeri, tidak lantas dirinya berlaga sombong terhadap siapa pun. Memang saya tidak mengenalnya terlalu dalam. Tapi sejauh ini saya punya penilaian seperti itu. Bahkan suatu hari saya sempat bertemu di depan rumahnya, dan ketika itu saya dihadiahi dengan cincin putih yang cukup bagus.
Kini, ketika kembali berjumpa dengannya di pinggir pantai, tiba-tiba kembali menghidupkan ingatan saya tentang dirinya beberapa tahun silam. Terlihat tidak ada yang berubah. Cara berbicaranya sama seperti awal saya bersahabat dengannya. Idenya mengalir alami seperti hamparan cahaya mentari menyapa semesta. Dia datang bersama putri kecilnya menikmati suasana pantai, sambil menunggu sampannya membawa hasil tangkapan.
Kami tidak berbincang seberapa lama. Tapi, dirinya memberikan apresiasi dan dukungan terhadap aktivitas yang saya lakukan bersama pemuda desa Jala dalam membersihkan pantai dari sampah yang berserakan. Sebelum benar-benar berpisah karena suatu urusan, kami pun bersepakat akan berusaha untuk bersua lagi di kesempatan yang lain.
Saya meminta kesediaannya untuk foto berdua sebelum gemuruh ombak memecah pantai. Birunya laut, suara mesin dari sampan yang melaju, menjadi saksi pertemuan saya dengan Pak Hanafi. Suatu pertemuan yang menautkan dan mengawetkan persahabatan agar tetap kuat seperti karang yang setiap saat diterjang oleh hempasan ombak yang silih berganti.