Sebagai penulis, Pram tidak mengumbar keindahan, nyaris tak ada humor, bahkan banyak mengungkapkan cerita kelam. Pram menganggap keindahan terletak pada kemanusiaan, perjuangan untuk kemanusiaan dan bebas dari penindasan. Bukan dalam mengutakatik bahasa.
Namanya pernah masuk nominasi penghargaan Nobel, penghargaan klas dunia yang sangat bergengsi - namun Pram menyatakan tak terobsesi memenangkannya. Â "Penghargaan sudah saya dapat di mana-mana. Orang baca karya saya saja, sudah suatu penghargaan, " kata penerima penghargan Ramon Magsasay itu singkat.
Ketika kepadanya disinggung tentang buku 'Panggil Aku Kartini Saja' (1965), Pram menyatakan, "Mestinya saya punya empat jilid tulisan tangan Kartini. Â Dibakar sama militer. Tulisan itu hasil studi lapangan. Menemui saudara-saudaranya. Â Malah saya punya buku keluarga, masih tulisan Jawa. Itu dibakar semuanya. Kartini, itu orang luar biasa. Mendirikan sekolah dengan tenaga sendiri. Dia satu-satunya perempuan dengan pendidikan Barat, waktu itu, " katanya.
Pram sangat mendendam pada militer yang merampas dan membakas naskah-naskahnya. Â "Saya nggak bisa memaafkan. Yang dibakar aja delapan. Belum yang hilang di penerbit-penerbit. Nggak tahu kok, sejarah saya sejarah perampasan. Nggak ngerti saya. Ini pendengaran saya juga hilang. Ini kerjaan militer juga, yang bikin saya setengah tuli. Dihajar pakai popor senapan, " katanya.
Pada pertengahan 1980an, karya-karya Pram beredar di bawah tanah. Di awal 1980an, untuk mendapatkan buku Pram mempertaruhkan keselamatan diri.
Seorang aktifis yang belakang menjadi sahabat, Bambang Isti Nugroho, Â mendekam di penjara selama 8 trahun karena berjualan buku Pram di kampusnya di Jogya. Saya sendiri mendapatkannya Tetralogi Buru dengan cara gerilya juga dan tetap menjadi koleksi termahal di lemari pustaka saya hingga kini.
Saya hanya sempat sekali berjumpa dengan Pram. Di Utan Kayu, saat saya membeli 'Arus Balik'. Dia duduk di ruang tamu dengan kaos putih lusuh dan bersarung.
"Saudara bekerja di mana?" dia bertanya dengan suara parau, suara khas perokok.
"Saya wartawan, saya bekerja di media, " jawab saya.
"Oh, ya. Ini memang makanan saudara! " sambutnya dengan senyum tipis seraya menatap buku karyanya di meja. Saya pulang membawa novel tebalnya itu, dengan dada membuncah dan di rumah menyelesaiikan buku itu dengan cepat nyaris tanpa jeda.
Dan sejak itu pun saya menjadi seorang "Pramis" sebutan untuk pengikut 'ideologi' Pramoedya Ananta Toer. Seorang penulis yang berjuang lewat kekuatan kata kata.