Catatan Pendakian Gunung Slamet 3428 MDPL Â ( bagian 4 )
Saya terbangun sekitar jam dua dinihari. Suara langkah-langkah kaki pendaki yang berangkat ke puncak atau summit attack terdengar jelas di telinga. Bukan hanya suara kaki, tapi getaran langkah-langlah kaki menginjak bumi jelas terasa sekali. Maklum posisi tendaku memang berada persis di pinggir jalan setapak menuju puncak. Rupanya hujan telah reda. Dan banyak pendaki yang sudah berangkat muncak sejak tadi. Sorot-sorot lampu headlamp menembus pintu tenda yang sedikit terbuka.
Saya segera menyiapkan beberapa perlengkapan untuk summit attack. Sarung tangan, gaiter, dan jaket oranye Indrialoka langsung saya pakai. Tak ketinggalan lampu headlamp saya pasang di kepala. Sementara di saku jacket saya bawa senter kecil untuk cadangan. Sedangkan perlengkapan lain seperti jas hujan plastik, oxycan, kue-kue, dan minuman saya masukkan ke dalam Daybag. Sementara untuk HP, dompet, obat, dan beberapa kue saya taruh di tas slempang.
Segelas susu proten dan segelas kopi hitam serta beberapa pentol dan nugget goreng menjadi menu santap pagiku sebelum mulai summit. Setelah semua selesai berkemas, kami pun segera berkumpul untuk memanjatkan do'a bersama sebelum mulai jalan. Sesuai arahan dari Ketua team, Mas Tam, kami harus bergerak bersama selama pendakian ke puncak. Dan juga harus berhati-hati untuk saling menjaga, dan segera memberi aba-aba keras bila ada batu jatuh.
Perjalanan summit attack kami mulai ketika jarum jam menunjuk angka 02.30 dini hari. Team kami berjumlah 15 orang dengan didampingi satu orang porter naik ke puncak semua. Pagi dini hari itu sangat ramai pendaki yang berangkat ke puncak, hingga menimbulkan antrian di beberapa titik jalur turunan atau tanjakan. Beberapa pendaki yang tidak kuat jalan harus menepi untuk memberi kesempatan pendaki lain melintas. Udara pagi yang cukup dingin menggigit ditambah kadar oksigen yang tipis diatas ketinggian 2000mdpl membuat pendaki banyak yang kelelahan dan harus menepi untuk beristirahat.
Sorot-sorot nyala lampu senter atau headlamp terlihat meriah sekali laksana kunang-kunang yang terbang berlarian di sepanjang jalur pendakian. Saya mencoba mempertahankan irama kaki untuk berjalan senyaman mungkin. Trekking Pole di tangan kanan membantuku untuk melintasi jalur yang dominan tanjakan berbatu ini.
Setelah agak lama berjalan, akhirnya badan saya sudah mulai terasa hangat dan sedikit berkeringat. Dan tanpa terasa akhirnya saya pun tiba di batas vegetasi, yaitu batas antara hutan dan medan bebatuan menuju puncak. Saya bertemu dengan  anggota team lain yang sedang beristirahat disini. Dan saya pun ikut istirahat sejenak sambil membasahi tenggorokan dengan beberapa teguk air minum. Dari atas terlihat beberapa sorot lampu yang menandakan bahwa kami masih jauh berada di bawah.
Setelah berjalan sekitar 15 menit dari batas vegetasi, kami tiba di daerah yang sedikit agak datar. Saya melihat banyak orang yang sedang foto-foto dan istirahat di tempat ini. Tapi, saya dan team memilih untuk melanjutkan jalan. Tiba-tiba porter kami mengajak saya dan beberapa teman untuk berjalan di sisi sebelah kanan jalur agar tidak terlalu berjubel dengan pendaki lain. Maklum saja di jalur utama cukup banyak pendaki yang berjalan beriringan.
Tak berapa lama kami akhirnya sampai di jalur yang dipasangi tali pegangan panjang untuk naik  menuju ke puncak. Dan ketika saya bertanya Pos 5 dimana?. Mas porter menjawab bahwa di tempat yang tadi ramai orang foto-foto itulah letak Pos 5 atau dikenal dengan nama Pos Watu Ireng dengan ketinggian 2930mdpl. Oh, rupanya saya tadi sudah melalui Pos 5 ketika diajak berjalan lewat sisi sebelah kanan jalur.
Karena waktu untuk sholat subuh sudah masuk, akhirnya saya berhenti di dekat sebuah batu besar. Di sebelah batu itu ada tempat yang sedikit lapang. Seorang pendaki perempuan sedang khusuk melaksanakan sholat disitu dengan menggelar sajadah. Saya menunggu sampai dia selesai sholat. Setelah pendaki perempuan itu beranjak pergi, giliran saya sholat di tempat yang sama.
Selesai sholat, saya mengeluarkan oxycan dan menghirup oksigen dalam-dalam sebanyak lima kali. Alhamdulillah, paru-paru saya terasa segar kembali. Saya mulai melanjutkan pendakian lagi ketika di ufuk timur cahaya semburat jingga mulai memancar. Beberapa pendaki mengabadikan momen bentang alam yang sungguh indah ini dengan camera hp masing-masing. Sementara saya masih belum berminat mengambil hp untuk memfoto sekitar sebab kondisinya masih gelap. Saya lebih memilih fokus untuk melanjutkan perjalanan menggapai puncak dengan berpegangan pada tali pengaman.
Menurutku jalur menuju puncak dengan medan berbatu seperti ini memberikan tantangan tersendiri. Kami tidak bisa bebas melangkahkan kaki ketika berjalan. Kami harus memperhatikan bahwa batu yang kami injak itu aman. Sebab, bila kurang hati-hati melangkah dan menginjak batu yang posisinya labil. Sungguh itu sangat berbahaya. Batu bisa menggelinding jatuh dan bisa mengenai pendaki lain yang ada di bawah. Kita harus saling menjaga keselamatan sesama pendaki dengan tidak melakukan tindakan yang berbahaya dan sembrono.
Dan beberapa kali saya menyaksikan sendiri ada batu yang terjatuh dan menggelinding kencang ke bawah. Untungnya tidak sampai mengenai pendaki karena kebetulan batunya menggelinding ke luar jalur. Setiap kali ada batu jatuh, sontak seluruh pendaki akan saling berteriak mengingatkan pendaki yang ada di bawah " Awas Batu!". Peringatan tersebut biasanya akan disambut dengan teriakan estafet yang sama oleh pendaki yang ada di bawah " Awas batu!". Dengan begitu pendaki-pendaki yang masih ada di bawah akan lebih waspada dan berlindung menghindar bila ada batu yang jatuh.
Setiap gunung itu memiliki keindahannya masing-masing. Dan setiap gunung juga memiliki tantangan sendiri, termasuk juga jalur pendakian yang tidak sama. Beberapa memang ada kemiripan medannya. Tapi tak sedikit yang kontur jalurnya berbeda. Termasuk jalur menuju puncak. Setiap gunung memiliki tingkat tantangan kesulitan yang berbeda-beda.
Jalur menuju puncak di gunung Slamet ini memiliki medan berbatu labil yang membuat pendaki tidak boleh menginjakkan kaki sembarangan. Kontur medannya jelas tidak sama dengan jalur menuju puncak Semeru maupun jalur letter E Rinjani. Tapi sangat menguras tenaga medannya. Beruntung disini masih diberi bantuan pengaman tali tambang untuk membantu pendaki yang akan naik dan juga yang turun.
Sebelum tiba di puncak hari sudah mulai terang. Headlamp sudah tak lagi dinyalakan karena jalanan sudah mulai terlihat jelas. Beberapa meter sebelum tiba di puncak kabut tebal bercampur asap belerang turun terbawa angin kencang. Bau belerangnya begitu menyengat menusuk hidung. Saya berusaha membetulkan kain buff untuk menutupi hidung lebih rapat.
Akhirnya saya tiba juga di puncak gunung Slamet 3428 mdpl dan disambut dengan hembusan kabut tebal bercampur asap belerang. Saya segera mencari tempat duduk dan berlindung dari terpaan angin kencang yang membawa bau belerang kuat. Bersyukur situasi ini tak berlangsung lama, beberapa menit berikutnya bau belerang sudah mulai berkurang seiring dengan cuaca yang sudah mulai cerah.
Di bawah sana sinar mentari nampak sudah mulai menembus permukaan bumi . Sementara itu di puncak ini masih belum sepenuhnya terbuka langitnya. Awan hitam masih menggelayut di langit. Kami segera mengambil beberapa foto bersama di puncak Slamet ini. Kami tidak bisa berlama-lama berada di puncak. Selain karena suhu udara di puncak cukup dingin ditambah dengan bau belerang yang sewaktu-waktu sangat menyengat. Kami juga harus bergantian dengan pendaki lain yang sedang dalam perjalanan menuju puncak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI