Menikmati Kuliner dari Stasiun Klaten hingga Kantor Cabang BRI Klaten
Berbeda dengan stasiun Tugu Yogyakarta. Jika tiba di stasiun Klaten, kita tidak boleh memesan kendaraan secara daring di dekat pintu keluar stasiun. Di luar stasiun sudah banyak menunggu tukang ojek pangkalan.Â
Hal itu berbeda dengan kondisi di stasiun Tugu Yogyakarta. Ketika kita keluar dari stasiun menuju Selasar Malioboro, tidak ada larangan memesan kendaraan secara daring di sana.
Tampak terlihat pengemudi ojol (ojek online) banyak berada di pinggir jalan menunggu "panggilan" melalui aplikasi. Mereka dibatasi dengan pagar. Namun, ada jalan untuk melintas selebar satu badan orang bertubuh normal (tidak gendut).
Untuk menghindari konflik dengan pengemudi ojek pangkalan, saya berjalan kaki menyusuri jalan ke arah kantor cabang BRI Klaten. Pada saat saya berangkat ke stasiun Klaten diantarkan adik Tarti, satu hari sebelumnya, saya melihat di sepanjang jalan itu banyak warung atau pedagang pinggir jalan.
Berhubung kepulangan saya (31/8/25) menjelang tengah hari, perlu kiranya untuk mengisi kampung tengah. Perlu makan di warung yang saya inginkan.
Cuaca siang itu cukup panas. Saya berjalan kaki dengan perlahan. Jarak dari stasiun Klaten menuju kantor cabang BRI Klaten sekitar satu kilometer.
Di pinggir jalan sebelah kiri banyak warung makan yang menggoda. Ada Sop Ayam Pak Min, ada soto kwali, ada es cendol, dan beberapa warung yang menyediakan makanan bervariasi.
Tertarik Warung Lotek
Sebelum sampai ke kantor cabang BRI Klaten, ada sebuah warung yang cukup menggoda. Beberapa waktu silam saya pernah diajak makan di warung tersebut. Hidangan yang saya inginkan adalah sayur lotek (semacam gado-gado atau pecel).Â
Warung tersebut cukup ramai. Selain pembeli nyata (pembeli yang datang langsung ke warung), ada pembeli dari dunia maya, yaitu pembeli yang memesan makanan secara daring. Tampak di luar warung ada beberapa pengemudi ojol menunggu makanan yang dipesan secara daring.
Saya perlu bersabar menunggu makanan yang saya pesan, yaitu satu porsi lotek. Sambil menunggu makanan yang saya pesan disiapkan, seperti biasa, saya melakukan aksi jeprat-jepret. Kebetulan poster daftar harga tertempel di dinding dalam ukuran besar.
Pada saat itu ada dua orang laki-laki yang sudah agak tua sedang menikmati makanan. Mereka berbincang sambil menghabiskan makanan yang ada di piring masing-masing.
Tidak berapa lama, hidangan lotek disajikan. Aroma bumbu cukup menusuk hidung. Ciri khas lotek berupa kencur terasa spesial di lidah. Saya cukup lahap menyantap lotek yang segar dan dapat menggoyang lidah.
Dalam waktu sekejap, isi piring sudah kosong. Tinggal sendok dan garpu berada di atas piring. Sisa-sisa bumbu lotek tentu saja masih ada karena tidak mungkin saya habiskan hingga bersih dengan cara (maaf) dijilati.
Ketika pemilik warung sedang membersihkan meja di sebelah saya, dengan santun saya berucap, "Bu minum teh panas!". Sebelumnya saya sudah memesan tetapi hingga makanan lotek habis saya santap, minuman belum diantarkan juga.
Saya tidak protes karena memang saat itu kondisi warung sedang ramai. Karyawan warung yang tampaknya masih ada hubungan keluarga tampak sangat sibuk melayani pembeli yang memesan makanan secara daring. Saya perhatikan ada sekitar empat orang "karyawan" di warung itu.Â
Untuk satu porsi lotek dan segelas minuman teh manis panas, saya cukup mengeluarkan uang Rp 15.000 (lima belas ribu rupiah). Murah atau mahal, ya?Â
Keluar dari warung lotek, saya masih berjalan kaki. Pandangan mata saya masih mengamati warung atau penjual makanan di pinggir jalan.
Pada saat melintasi kantor polisi (polsek Klaten) beberapa meter. Maksudnya, beberapa meter setelah kantor polsek Klaten, saya melihat ada penjual lotis (pencok) atau rujak.
Saya memesan satu porsi lotis dibungkus. Ada dua orang yang melayani. Mereka tampak seperti suami istri. Keduanya cukup ramah dan mengajak saya mengobrol. Pertanyaan umum dilontarkan, mengapa berjalan kaki? Dari mana tadi? Kok sendirian?
Saya pun menjawab dengan lancar karena pertanyaannya sangat mudah dijawab dan baru saja saya alami. Selanjutnya, ada pertanyaan kekinian yang perlu saya jawab dengan taktis.
"Bagaimana demo di Yogya?"
"Yang demo ya tetap demo, saya berada di tempat lain. Aman saja, kok."Â
Saya tidak mau terlibat dalam obrolan terlalu jauh. Apalagi menyangkut hal-hal yang tidak saya pahami tentang kondisi negara saat ini. Demonstrasi memang terjadi di berbagai kota di Indonesia. Ada aksi anarkis. Ada bakar-bakar. Ada aparat berjaga. Ada kondisi kumuh, kotor, dan berantakan setelah aksi demo selesai. Petugas kebersihan harus bekerja ekstra untuk membersihkan puing-puing atau benda-benda yang mengotori jalanan.
"Berapa, Pak?" tanya saya kepada bapak penjual lotis/pencok/rujak tersebut.
"Sepuluh ribu!"
Saya merasa bersyukur ternyata harga yang diberikan relatif murah. Cukup banyak irisan buah-buahan dalam kantong plastik. Cukup banyak pula jenis buah yang dicampur menjadi satu bungkus tersebut.
Di sebelah penjual lotis/pencok/rujak ada penjual kue yang cukup menggoda. Pada saat saya sedang menunggu lotis disiapkan, saya melihat ada dua orang pembeli. Salah satunya pembeli mengendarai mobil.
Saya tergoda untuk ikut membeli setelah selesai membayar lotis. Namun, saat saya datangi, ternyata dagangannya sudah habis. Beberapa box putih tampak sudah kosong. Tentu saja saya merasa kecewa. Pulang ke rumah hanya membawa satu macam oleh-oleh.Â
Saya menjadi teringat bahwa ada kue jadah bakar di dalam tas. Pada saat jalan-jalan di Malioboro, saya sempat membeli kue jadah bakar. Rasanya cukup enak. Saya beli lima potong kue jadah bakar. Baru dua potong yang saya makan di sana. Berarti masih ada tiga potong.Â
Kaki saya pun terus melangkah menuju trotoar samping kantor cabang BRI Klaten. Setelah tiba di sana, saya baru memesan kendaraan mobil secara daring. Tujuan pulang ke rumah ibunda di Dukuh Ketinggen, Desa Karanglo, Kecamatan Klaten Selatan.
Dalam waktu singkat, saya pun sudah mendapatkan driver. Mata saya sempat terbelalak karena ongkos yang harus saya bayarkan melalui aplikasi sebesar Rp 8.500 (delapan ribu lima ratus rupiah). Naik mobil dengan jarak sekitar lima kilometer hanya membayar di bawah sepuluh ribu rupiah?
Untung saya hanya seorang diri. Seandainya mobil diisi penuh (empat orang), betapa hemat biaya transportasi secara daring itu, ya? Berapa harga BBM untuk bahan bakar kendaraan?Â
Saya tidak mengajak berbicara dengan driver. Tampaknya sang driver juga sedang tidak ingin berbicara. Mungkin ia juga merasa kaget, mengapa ongkosnya begitu murah.
Pengalaman Berjalan Kaki sangat Mengesankan
Melakukan perjalanan dengan berjalan kaki ternyata banyak hal dapat dilihat dan dirasakan. Kita dapat memilih warung makan sederhana dan dapat menikmati dengan harga yang terjangkau. Soal rasa, tentu itu ranah selera. Jika kita mau jujur, makanan di pinggir jalan ada yang memiliki rasa yang cocok di lidah kita.
Untuk itu, jika ada kesempatan, sebaiknya kita mencoba menikmati kuliner di warung-warung pinggir jalan yang menarik perhatian. Pembeli di warung-warung kecil di pingggir jalan pun bukan hanya dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Banyak pembeli dari kalangan menengah ke atas. Hal itu terbukti dengan banyaknya konsumen yang membeli makanan secara daring.
Pengalaman saya berjalan kaki dari stasiun Klaten hingga kantor cabang Bank BRI Klaten benar-benar sangat mengesankan. Selain mendapatkan sehat (berjakan kaki), saya dapat melihat-lihat penjual makanan di pinggir jalan, baik yang berupa warung permanen maupun pedagang yang menggunakan sepeda motor.
Dialog atau komunikasi dapat terjalin dengan pedagang meskipun hanya sebatas basa-basi untuk menunggu waktu makanan siap disajikan.
Bagaimana dengan Anda?
Ditulis di Klaten 2 September 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI