Mohon tunggu...
Suprihadi SPd
Suprihadi SPd Mohon Tunggu... Penulis - Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sendang Kapit Pancuran

18 April 2024   07:37 Diperbarui: 18 April 2024   07:46 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sendang Kapit Pancuran

"Meruwat bermakna membebaskan orang dari nasib buruk yang akan menimpa. Selanjutnya, ruwatan bermakna upacara membebaskan orang dari nasib buruk yang akan menimpa".

Aku buka-buka kamus untuk lebih memahami arti kata "ruwat" dan kata-kata bentukannya. Sebagai orang terpelajar, aku tidak mau melakukan sesuatu tanpa mengetahui dasarnya. Untung ada internet. Aku leluasa mencari info seputar ruwat.

"Mas Rahman, sudah ditunggu ayah!" ucap Tikno dengan santun.

"Ya. Tunggu sebentar, ya. Aku matikan laptop dulu!" ujarku spontan.

Rasa enggan sempat menyelimuti. Upacara-upacara yang ditonton banyak orang membuat risih. Seolah-olah aku adalah barang antik yang pantas ditonton dan dikomentari banyak orang.

Dari halaman sudah terdengar suara musik tradisional Jawa berkumandang. Ya. Suara gamelan itu mulai mengalun. Bergegas aku kenakan kemeja putih. Ayahku sudah menunggu di depan pintu kamar dengan mengenakan pakaian adat Jawa.

"Kita ikuti ritual yang tidak menyimpang dengan agama kita," bisik ayah di telinga kiriku.

Aku sepaham dengan ayah bahwa ritual malam ini adalah inisiatif kakek dan nenekku yang mempercayai tradisi turun-temurun. Dalih mereka adalah melestarikan budaya Jawa selain ingin membebaskan aku dari Betara Kala. Di samping itu ada upaya untuk mendatangkan wisatawan dari berbagai belahan bumi di dunia. Dengan begitu, aku merasa dijadikan objek wisata.

Bukan hanya aku sendiri yang harus mengikuti ritual ruwatan malam ini. Ada sekitar sepuluh orang. Mereka berasal dari beberapa desa di kota kami. Bahkan ada yang datang dari provinsi lain. Informasi yang aku dengar, ada juga peserta ruwatan orang dari luar negeri. Ayahnya orang Australia dan ibunya orang Jawa. Anaknya berkulit putih seperti ayahnya.  

Di depan layar untuk pentas Wayang Kulit, aku lihat sudah ada delapan orang berkemeja putih seperti diriku. Tidak jauh dari mereka terlihat orang tua yang berpakaian adat seperti ayahku. Panitia ruwatan segera mempersilakan kami segera bergabung dengan kedelapan orang berkemeja putih.

"Inilah, Bapak Abdul Rahman, anak Pancuran Kapit Sendang, yang bermakna anak laki-laki yang mempunyai satu kakak dan satu adik perempuan. Dipersilakan bergabung dengan Bapak/Ibu dan Saudara/Saudari yang sudah duduk di dekat pakeliran," begitu suara pembawa acara yang aku kenal betul suaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun