Cerita Toleransi: Kawan Nonis Ingatkan Saya untuk Salat Subuh
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang cukup toleran dalam bermasyarakat. Di sekeliling tempat tinggal kita ada beraneka warga dengan agama yang berbeda. Namun, hubungan sosial tetap terjaga dengan baik.
Untuk urusan-urusan bersifat sosial, kita sudah terbiasa berdiskusi dan memecahkan masalah bersama. Dalam kaitan masalah lingkungan, kami sudah sering bermusyawarah dengan dihadiri warga.
Pada saat saya menjadi ketua RT (Rukun Tetangga), warga di lingkungan RT kami terdiri atas berbagai suku dan agama. Namun, kami tetap menjaga kerukunan.
Pada saat ada musibah banjir, kami bergotong royong membersihkan lingkungan yang menjadi penyebab terhambatnya air mengalir menuju pantai.
Pada saat keamanan lingkungan kurang kondusif, kami bermusyawarah untuk melakukan ronda terjadwal. Semua kepala keluarga dilibatkan, tidak memandang suku dan agamanya.
Cerita Waktu Bujang
Pada saat merantau ke Kalimantan, saya masih berstatus lajang tetapi sudah menjadi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Dalam usia 23 tahun waktu itu sudah menjadi guru di sekolah negeri (SMA).
Pada suatu malam Minggu, saya pernah main ke rumah teman yang berstatus lajang pula. Kebetulan saya berteman dengan polisi yang tinggal di asrama.
Asrama polisi berlokasi tidak jauh dari masjid besar di Kelurahan Penajam. Waktu itu kebetulan saya diminta menginap beramai-ramai. Saat itu kami tidur agak larut malam.
Ketika suara azan Subuh berkumandang, saya masih terlelap tidur. Kebetulan ada teman polisi yang beragama Hindu membangunkan saya untuk segera menjalankan salat Subuh.
