Mohon tunggu...
Suprianto Annaf
Suprianto Annaf Mohon Tunggu... -

Sebagai editor, dosen, dan jurnalis, tinggal di Tangerang Selatan. Sering memberi pelatihan penyuntingan bahasa dan cara menulis kreatif dan selalu termotivasi untuk menyampaikan kebenaran melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye di Tengah Bencana

28 Januari 2014   14:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa pun pasti  akan bersimpati kepada saudara kita yang tengah dirundung bencana. Misalnya saja bencana banjir dan tanah longsor di Manado serta erupsi Gunung Sinabung di Sumatra Utara. Belum lagi bencana banjir yang melanda ibu kota Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini. Betapa kalau kita lihat di layar TV, saudara kita itu sangat menderita. Tak sedikit di antara mereka menjadi korban jiwa karena bencana geografis di Indonesia yang tidak pernah berakhir. Saya rasa simpati kita itu suatu keharusan.

Akan tetapi, simpati di tengah bencana kadang kala ditunggangi kepentingan pribadi partai politik. Mereka (para caleg) mengulurkan tangan dengan tendensi pribadi. Lihat saja atribut partai berkibar di tengah derita saudara kita. Mulai dari spanduk, nasi bungkus berstempel lambang partai, uang duka, bahkan komitmen-komitmen lain dilakukan di tengah bencana. Mereka datang dengan membawa spanduk dan diliput awak media bahwa mereka sudah membantu rakyat yang dirundung bencana. Tak sedikit di antara mereka pun bertelanjang kaki turun ditengah banjir, bertanya-tanya kepada warga, menyentuh anak-anak yang tengah berduka, dan bahkan ada yang ikutan berair mata bersama ibu-ibu yang keharuan.

Fenomena seperti ini kian hari kian masif terlihat. Tak sungkan-sungkan para caleg datang bak dewa penolong bagi saudara kita dengan membawa misi bagaimana menangkap suara sehingga menang di Pemilu 2014. Suatu keganjilan humanistik bila bantuan itu berharap imbalan suara. Di mana niat ikhlas semata-mata membantu bagi saudara kita?  Bukankah memberi dengan tanpa berharap imbalan walaupun seratus perak lebih mulia daripada berjuta-juta tapi ditebus kertas suara?

Sebenarnya tak ingin berburuk sangka kepada mereka. Bisa jadi niat mereka lebih baik dari yang saya sangka. Akan tetapi, mengapa keikhlasan itu harus diimbel-imbeli lambang partai, spanduk partai, stempel partai, atau hal lain yang akan mengurangi kebaikan itu sendiri. Apakah tanpa atribut yang macam-macam itu mereka tidak bisa bersimpati?

Di sinilah ikhlasan berbagi dan menolong harus dibangun sehingga negeri ini jauh dari kepura-puraan dan kamuflase politik.

@suprianto annaf

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun