Mohon tunggu...
Suprianto Annaf
Suprianto Annaf Mohon Tunggu... -

Sebagai editor, dosen, dan jurnalis, tinggal di Tangerang Selatan. Sering memberi pelatihan penyuntingan bahasa dan cara menulis kreatif dan selalu termotivasi untuk menyampaikan kebenaran melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku (Bukan) Pancasila

20 Juni 2017   05:52 Diperbarui: 20 Juni 2017   08:30 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

EKSPRESI kebangsaan tertebar tanpa batas. Media sosial, spanduk pinggir jalan, koran, dan televisi sesak dengan slogan. Pengirim pesan pun beragam, mulai Bapak Presiden hingga rakyat di kedai kopi. Semua lantang menyuarakan 'Aku Indonesia, Aku Pancasila'.

Tak ingin mengecilkan ekspresi itu. Hanya saja slogan 'Aku Pancasila' berselisih dalam makna. Cikal bakalnya pun sederhana: hanya urusan logika. Pemisalannya akan saya mulai dari slogan 'Aku Indonesia'. Slogan itu hendak menyampaikan bahwa (1) pengirim pesan orang Indonesia, (2) mencintai Indonesia, dan (3) akan menjaga keutuhan Indonesia. Antara persona aku dan kata Indonesia dihubungkan berdasarkan asal atau tempat. Secara semantis, hubungan ini pun sah dan berlogika.

Namun, bagaimana dengan slogan 'Aku Pancasila'? Rasanya mustahil bila dihubungkan seperti urutan persona aku dan Indonesia seperti di atas. Tidak satu pun warga negara kita berasal atau bertempat tinggal di Pancasila. Pun tidak mungkin persona aku menyandang status Pancasila seperti makna hubungan 'aku mahasiswa'.

Sejatinya yang disampaikan lewat 'Aku Pancasila' ialah bahwa pesona aku berjiwa Pancasila. Ini berarti pula urutan slogan itu seharusnya 'Aku Pancasilais'. Penambahan -is akan menunjukkan sifat atau jiwa penganut. Menjiwai Pancasila seperti itulah yang harus melekat dalam diri warga negara.

Selain itu, slogan 'Aku Pancasila' mengingkari tiga pilar yang lain: NKRI, UUD 45, dan Bhinneka Tunggal Ika. Mengapa tidak diungkapkan juga 'Aku NKRI, Aku UUD 45, dan Aku Bhinneka Tunggal Ika'? Bukankah keempatnya menjadi pilar yang sama-sama diperjuangkan, dijaga, dan junjung tinggi? Apa tidak cukup slogan 'Aku Indonesia' saja, yang notabene mencerminkan keempat hal itu sekaligus?

Ekspresi kebangsaan lain yang gagal membawa pesan sempurna ialah Pancasila disebut pilar negara. Benarkah? Bukankah pilar itu berarti tiang, yang tak serupa dengan dasar? Selama ini yang selalu menjadi pengetahuan siswa di sekolah, Pancasila itu sebagai dasar negara. Bukan pilar negara? Kata dasar memiliki kemiripan dengan landasan atau fondasi, yang menjadi tumpuan cara pandang di negara ini. Secara rancang bangun, dasar atau fondasi dibentuk lebih dahulu daripada tiang. Dia pun harus kuat dan kukuh sebagai tempat berdirinya tiang. Karena itu, dasar tidak serupa dengan tiang. Mana yang benar, sebagai dasar negara atau pilar negara?

Satu lagi ekspresi kebangsaan yang hendak diluruskan. Ketika bom di Kampung Melayu terjadi, ramai-ramai aparat keamanan, pemangku kepentingan, atau masyarakat yang geram dengan aksi teror berujar 'Kita harus tangkal teroris', '...harus mengantisipasi teroris', atau 'Kita harus basmi teroris'. Ketika mendengar ujaran itu, saya hanya berbisik, "Semoga mereka bertemu terorisnya." Kok begitu? Jawabannya karena teroris itu orang. Kalau hendak menangkal teroris, Anda harus bertemu teroris. Kalau hendak mengantisipasi teroris, Anda harus tahu ke mana atau di mana dia akan beraksi. Kalau akan membasmi teroris, Anda harus hati-hati, khawatir dia bukan yang Anda cari. Sesungguhnya Anda sulit bertemu teroris karena teroris itu tidak nyata, terselubung, dan tersamar. Bukankah yang lebih nyata ditangkal, diantisipasi, dan dibasmi ialah terorisme, bukan teroris?

Dengan tulisan ini, saya hanya ingin bilang 'Aku bukan Pancasila' lagi, tetapi 'Aku Pancasilais' sejati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun