Sebuah curhat terbuka dari seorang dosen muda yang capek mikirin Scopus
Ketika Negeri Ini Sibuk Menghitung SKS, Dunia Sudah Menghitung Impact Factor
Bayangkan ini: Anda baru saja menyelesaikan PhD dari universitas top di luar negeri. Pulang ke Indonesia dengan penuh semangat berkontribusi. Tiga tahun kemudian, Anda menemukan diri Anda terjebak dalam kebingungan: mengapa begitu sulit menerbitkan satu artikel di jurnal Q1, padahal di negara asal Anda, mahasiswa S2 saja sudah rajin terbit di Nature?
Bukan karena Anda bodoh. Bukan karena universitas Anda tidak punya fasilitas. Tapi karena---dan ini menyakitkan untuk diakui---kita terlambat sekali membangun fondasi berpikir kritis.
"Pak, Ini Kan Cuma Tugas Kuliah..."
Cerita ini dimulai jauh sebelum kita menjadi dosen. Mulai dari saat kita sendiri masih menjadi mahasiswa yang cuek bebek.
Dosen: "Bacalah minimal 10 jurnal internasional sebelum mulai riset." Mahasiswa: Googling "jurnal gratis PDF" download abstract saja langsung bikin kesimpulan
Sound familiar?
Di negara maju, mahasiswa tahun pertama sudah dibiasakan:
- Membaca 50+ paper sebelum menyusun proposal
- Menulis critical review alih-alih ringkasan
- Bertanya "apa celah penelitian ini?" bukan "berapa halaman minimal laporannya?"
Sementara di sini, mahasiswa masih mikir: "Pak, nanti kalau saya terlalu kritis, bisa nggak saya lulus?"
Jurang yang Lebih Dalam: Ketika Dosen-Dosennya Sendiri Belum Tentu Bisa