Mohon tunggu...
Suparjono
Suparjono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggiat Human Capital dan Stakeholder Relation

Human Capital dan Stakeholder Relation

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebenaran Baru adalah Subjektivitas yang Disepakati

17 Juli 2023   09:03 Diperbarui: 17 Juli 2023   09:08 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puncak gunung begitu indah bila dipandang dari kejauhan, tapi perjalanan menuju kesana penuh perjuangan. Belum lagi, keindahan yang terlihat sesungguhnya penuh bukit, lembah dan jurang yang terjal.  

Seperti halnya cakrawala yang menarik garis tegas diantara gelombang pasang dan deburan ombak hingga ada kesan mentari timbul dan tenggelam dari sana. Ataupun keindahan rembulan malam yang terlihat begitu halus dan terang memancarkan cahayanya, padahal cahaya tersebut adalah pantulan permukaan bulan yang tak halus yang berasal dari matahari disisi lain. Begitulah fenomena mata memandang dengan segala keterbatasannya. 

Dalam bahasa puisi begitu indah menggambarkan sebuah metafora yang tanpa batas. Seolah mata memandang adalah kebenaran yang absolut. Padahal setiap mata memandang perlu ditangkap sebagai gambaran yang masih perlu ditafsirkan dalam narasi batas yang menjadi pembuktian. Pembuktian melalui pengalaman, fakta-fakta, eksperimen yang dibangun dengan kaidah keilmuan maupun secara transenden bisa dipertanggungjawabkan.  

Idealnya memang demikian, jikalau penerjemahan dari penangkapan indera manusia bisa digambarkan oleh individu yang mampu mengoptimalkan kemampuan akalnya dengan baik. Maksudnya adalah interpretasi tersebut dibangun dengan logika yang benar atau tidak mengandung kesesatan berfikir. 

Kesesatan tersebut seringkali muncul karena ada motif-motif yang hanya mementingkan kepentingan pribadi ataupun golongan. Sehingga justifikasi ataupun interpretasi atas penangkapan realitas menjadi sesat dan menyesatkan. 

Hal tersebut sangat mungkin terjadi di era yang penuh dengan informasi yang bertebaran. Informasi yang diproduksi begitu masif sebagai konsekuensi dari revolusi industri 4.0.

Seolah-olah setiap detik bit demi bit informasi diproduksi oleh manusia yang satu dengan yang lainnya secara bersamaan atau bergantian. Produksi informasinya tersebut belum tente mengandung kebenaran, karena dalam memproduksi tak perlu ada filter dari otoritas terkait.

Filter menjadi penting dalam menyerap setiap informasi yang diterima. Filter dapat berupa guru, penasehat, akal dan hati serta pihak-pihak yang mempunyai otoritas karena kapasitas yang mempuni dalam melihat sebuah informasi. 

Artinya kalau filterisasi tidak mampu memberikan gambaran yang seutuhnya dan sesungguhnya potensi ada kebenaran baru atau kesepakatan secara komunal memungkinkan terjadi. Dalam konteks ini adalah informasinya memberikan polemik tentang hubungan sosial yang menimbulkan konflik berkepanjangan. 

Tentu kebenaran baru yang dihasilkan menggunakan metode ilmiah dan syarat yang melekat pada kebenaran tersebut tidak menjadi hal yang perlu diperdebatkan kecuali dengan argument yang ilmiah juga. 

Sehingga konteks yang menjadi bahasan adalah bagaimana informasi yang tanpa filterisasi, yang diproduksi secara massif dan sistemik mampu memberikan sebuah entitas baru, harapan baru, kebahagiaan baru dan hal-hal baru yang disepakati oleh sebuah komunitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun