Mohon tunggu...
Supanta Hadi
Supanta Hadi Mohon Tunggu... profesional -

Ingin menjadi manusia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negoro Wis Ono Sing Mikir (Negara Sudah Ada Yang Memikir)

15 Agustus 2010   07:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:01 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekali tempo beberapa hari yang lalu, saya harus menghentikan mobil yang membawaistri dan anak-anakkuke tepi jalan, minggir dulu, karena ada iring-iringan para kelompok pengendara motor gede, motor yangber-cc besar dan harganya ratusan juta… sampai milyaran rupiah. Yang punya jelas orang-orang berduit, pasti anda setuju. Wong harganya segitu. Kalau kebanyakan orang Indonesia pasti tidak kuat membelinya, coba proyeksikan dengan pendapatan per kapita kita, pasti tidak gathuk, tidak ketemu.

“Ngalah pak… sing nduwe dalan liwat… Mengalah pak yang punya jalan baru lewat..” kata laki-laki sebayaku yangjuga harus berhenti di depanku, seperti puluhan mobil lain yang berderet ke depan ke belakang, seolah-olah pada ndlosor berlutut mengagungkan barisan moge yang pada lewat. Lha gimana tidak mengalah, hanya itu pilihan kita. Senang atau tidak senang. Melihat begitu gagahnyabarisan moge yang menderu-nderu, yang ditumpangi orang-orang dengan wajah optimis, ada yang senyum-senyum, pethitha-pethithi, ada yang dingin datar, ada pula yang tampangnya berwibawa, kalau nggak mau dibilang sangar. Polisi Voorijder memimpin di depan membuka jalan bagi konvoi itu.. Priviledge. Huebat… tenan.

“Bagus-bagus ya Yah… motornya.. keren..keren…!” kata istri saya di sebelah. Sepertinya kali ini dia tidak terganggu dengan konvoi itu, yang membuat macet. Mungkin karena kita tidak sedang keburu-buru. Mungkin juga dalam hatinya dia juga pingin dibonceng pakai motor yang harganya 600 juta itu. Ih.. ngarep. Mau tersenyum tapi saya tahan, sudah punya gerobag dengan begini sudah bersyukur, tidak kodanan tidak kehujanan, tidak kebledugan tidak kena debu, dan AC nya maknyos.

“Woooi…. Cool man….” Kahfi anak saya yang kelas 3 SD, sambil mencolek kakaknya untuk melihat satu moge warna merah mulus, penumpangnya laki perempuan memakai jaket kulit hitam dengan atribut yang seragam. Dua anak saya lagi, yang kecil-kecik berebut melongok keluar ikut melihat moge itu. Nggak tahu mereka mudeng paham apa nggak, yang jelas seru.

Negeri ini konfigurasinya memang agak aneh. Yang jelas, yang berduit, kaya, pejabat atau sejenisnya, bisa mendapatkan priviledge lebih dari rakyat biasa. Kalau pejabat turun ke jalan, ya sebenarnya wajar saja mendapatkan priviledge untuk lancar perjalanannya, wong itu perjalanannya dalam rangka dinas, mengurus Negara, mengurus rakyat. Cuma pertanyaannya, benarkah para pejabat itu mengurus rakyatnya? Sepertinya kita, para rakyat, poro kawulo, pada mengurus mereka sendiri, malah kadang dipaksa mengurus para pejabat, membayar pajak tapi nggak tahu pajaknya ke mana. Mithos pejabat itu abdi rakyat, kok kayaknya agak jauhapi dari panggang, tentu tidak semuanya . Coba kita simak berita, walikota, anggota dewan, bupati, gubernur, menteri, mantan menteri, aparat polisi, jaksa, hakim agung, KPK, konglomerat, masuk pengadilan dan sebagian sudah menghuni hotel prodeo. Karena korupsi. Seandainya para pejabat itu tidak korupsi, mungkin, rakyat ini rela berjam-jam menunggu di jalan karena pemimpin mereka lewat. Pemimpin yang dielu-elukan oleh rakyatnya, seperti kisah-kisah cerita yang kita baca waktu kecil. Sejenak pikiran saya terbang ke imajinasi itu. Seorang raja berbudi bowo leksono, pemurah pemerhati kesejahteraan rakyatnya, berjalan turun ke bawah, turba, tedhak ke kawulo cilik, rakyat mengelu-elukannya, berebut menyembah, penuh cinta dan jauh dari kepalsuan.Mungkin seperti Presiden Soekarno waktu itu.

“Sudah korupsi, masih bikin sengsara… bikin jalan mace lagi.” keluh seorang bapak dengan motor butut dengan muatan 4 orang, dengan keringat pating dlewer, bersimbah di muka dan tangannya. Pertumbuhan jumlah kendaraan, ketidak-merataan sentra kegiatan bisnis, regulasi tranportasi yang tidak jelas,semakin menambah ruwetnya kemacetan.

“Tapi yanglewat kan pemimpin kita toh pak..? mari kita hormati, kita kasih jalan” saya coba menakar complain bapak bermotor tadi, dalam hati. Ya memang, pemimpin kita. Cuma, sepertinya tidak ada chemistry antara rakyat dan pemimpin yang lewat itu.Walaupun tidak semua pejabat seperti itu. Wajah bapak yang berpanas-panas menunggu antrean macet pejabat itu, kusut. Terbaca, level kekesalannya. Terbaca pula jelas kepasrahannya. Yang jelas lagi terbaca, terasa tidak adanya hubungan “cinta” pejabat dan rakyatnya. Lha gimana tidak, politik penggerak demokrasi, pembentuk sistem pemerintah ini adalah politik uang. Saya tidak mengatakan politik kita seburuk itu, tetapi kenyataannyaanda tahu sendiri. Temen saya yang menjadi anggota dewan kabupaten, pengusaha muda, habis 800 juta untuk mengantar ke ruang DPRD. Anda tahulah, kalau pola demokrasi kita kebanyakan seperti ini, makanya tidak membentuk “chemistry” hubungan rakyat dengan wakil rakyat, tidak ada ikatan “cinta sejati” antara bupati dengan rakyatnya, mungkin antara presiden dan rakyatnya. Yang ada adalah suap, pelicin, uang konstituen, uang kampanye dan sejenisnya, yang semuanya menjadi boomerang memicu kebencian, kesenjangan sosial, bentrok antar kelompok, partai politik, tentu saja korupsi.Perilaku rakyat juga bergeser, yang semestinya damaiaman hidup normal, tetapi menjadi gerah, gampang emosi. Dan pola korupsi juga bisa menjadi model dan pola berkehidupan sehari-hari banyak orang, kadang saya mrinding juga, ngurus SIM, paspor biayanya lebih dari yang seharusnya. Kalau mau jadi orang aneh, silahkan mengurus dua dokumen tersebut dengan biaya yang dicantumkan. Pertama anda akan menemui satu kata, sulit.

“Sudahlah Yah… itung-itungdapat hiburan.. lihat moge bagus-bagus..” kata istri saya menyadarkan saya dari kontemplasi amatiran ini. Istri saya tahu raut wajah saya, yang sedikit keberatan dengan konvoi moge itu, walaupun saya yakin tidak seburuk itu niat para klub moge itu. Jangan-jangan itu prasangka buruk saya saja. Waah.. kok wise banget perempuan yang sempat membuat saya crazy bin kedanan belasan tahun lalu, waktu dia masih kuliah di fakultas sebelah kampusku. Biasanya dia yang sewot.. terus mengkritisi pejabat dan negeri ini. Kali ini kok tenang dan menasehati. Saya nggak tahu apakah istri bapak penunggang motor yang membonceng di belakang motor, berpanas ria tadi juga menasehati yang sama pada suaminya. Istri saya seperti berfikir positif, paling tidak menahan diri untuk tidak membuat kerusakan berikutnya. Iya sih… tapi kita kan perlu kekuatan untuk merubah anomali-anomali negeri ini, kataku dalam hati memprotes. Siapa yang akan merubah ini semua kalau bukan kita? Hatiku bertanya, sambil membayangkan saya pegang megaphone berteriak membakar semangat para demonstran.Halah… raimu, lagakmu, bisik saya mentertawakan saya sendiri.

Jangan-jangan rakyat ini memang bener-bener sudah capai untuk memprotes akan kesulitan hidupnya dan memprotes kaum yang menyulitkan hidupnya. Buat apa demo, malah tambah susah. Yang penting dapur bisa ngepul sajalah.

“Gimana ini pak Dul..?”, uneg-uneg mengenai pejabat tadi saya tanyakan ke pak Dul. “Mau macet 5 jam… seharian, mau bapak-bapak itu pada korupsi, mau heboh video Luna Maya, mau denominasi kek.. mau presidennya sibuk mencitra diri, anggota dewan sibuk cari uang tambahan… mbuh ra weruh, sakarepe… Negoro wis ono sing mikir… nggak tahulah.. terserah..Negara sudah ada yang mikirin… lihat beras saya untuk makan anak-anak saya besok pagi sudah habis…. Permisi… saya mau narik becak dulu…”

Salatiga, 15 Agustus 2010

Ki Supanta Hadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun