Sore itu, pantai Parangtritis memantulkan cahaya keemasan. Ombak kecil membelai kaki Rena, anak sepuluh tahun yang tak henti tertawa sambil dikejar kakaknya, Arfan. Ibu mereka duduk di tikar, membuka bekal nasi uduk dan telur, sementara Pak Amir, sang ayah, sibuk merekam semuanya dengan handycam.
"Liburan yang harus kita ulang tahun depan!" seru Pak Amir sambil mengarahkan lensa ke wajah istrinya yang tersenyum malu-malu.
Tak ada yang menyangka, hari bahagia itu akan menjadi bingkai terakhir dalam album keluarga mereka.
***
Malam turun saat mereka melintasi jalan tol untuk pulang ke Bandung. Rena tertidur di kursi belakang dengan kepala bersandar di bahu Arfan. Ibu menatap jalan dengan pandangan kosong, lelah tapi bahagia. Pak Amir menyetir sambil bersenandung kecil.
Kemudian, dalam satu detik yang tak bisa ditarik kembali, ban sebuah truk di jalur seberang terlepas. Melayang. Menembus malam. Menembus kaca depan mobil Kijang mereka.
Benturan itu mematikan. Kaca pecah, darah memercik, dan tubuh Pak Amir terguncang hebat sebelum kepala menunduk di setir. Mobil tak lagi terkendali, menghantam pembatas jalan, lalu terpental jatuh ke kolong tol.
Keheningan.
Ibu sadar lebih dulu. Tubuhnya tergencet, bibirnya pecah. Ia menoleh dengan gemetar ke arah suaminya. Tak ada gerak. Tak ada napas. Hanya darah.
Arfan merintih pelan, lengannya tergantung dengan sudut aneh. Sementara Rena, meski kepalanya robek dan tubuhnya penuh luka, berhasil keluar dari pintu belakang yang remuk. Ia merangkak naik ke tepian jalan tol yang tinggi. Tangannya berdarah karena menggesek beton. Kaki kirinya pincang, tapi ia terus menyeretnya.
Jam menunjukkan pukul dua dini hari.