Mohon tunggu...
Sunardian Wirodono
Sunardian Wirodono Mohon Tunggu... profesional -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yanto, Sang Pembakar Hutan

23 Oktober 2015   10:06 Diperbarui: 23 Oktober 2015   10:06 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membakar hutan, secara terbatas dan terkendali, bisa dilakukan oleh siapa saja di Indonesia. Asal ada ijin dari desa, camat, atau gubernur, tergantung luas lahan yang mau dibuka.

Salah satu pembakar hutan adalah Yanto (40), begitu namanya. Lelaki Dayak aseli, yang saya temui di tengah hutan Borneo di wilayah Entikong itu, adalah salah satu pembakar hutan di Kalimantan.

Lelaki Dayak Sukung yang rambutnya telah memutih ini, peladang berpindah yang bercocok-tanam dengan (terlebih dulu) membakar lahan-hutan. Tapi ia bukan pengusaha besar. Bukan pemilik pabrik sawit atau pulp. Ia hanya bertanam jagung, sahang (merica), lada hitam, atau pulut (ketan). Sekali babat (bakar) hutan, bisa sampai 3-6 hektar, yang ijinnya bisa diurus di kepala desa atau paling banter camat. Syaratnya mudah. Hanya dengan foto-copy KTP saja.

Ladangnya berpindah-pindah. Bukan karena tuan tanah. Tapi ia harus membuka ladang terlebih dulu. Membakari hutan, kemudian mendiamkan selama 6 bulan, lantas mengolah tanah, dan baru kemudian menanaminya. Sehabis panen, ia harus cari tempat lain lagi.

Yanto mengerjakan sendiri saja. Menanam sahang, lebih menguntungkan, karena sekilo bisa dijual di Malaysia seharga Rp 40-an ribu. Kenapa ke Malaysia? Untuk mencapai pasar Malaysia, hanya butuh waktu 2-3 jam dengan sepeda motor, menembus hutan atau jalan setapak. Lagi pula, di sana banyak tukang tadahnya. Ke pasar Entikong, justeru harus jalan kaki, sambung speedboat, jalan kaki lagi, speedboat lagi, membutuhkan 12 jam jika air (sungai) baik. Dan biayanya? Bisa di atas Rp 1 juta, karena untuk speedboat, habis bensin 80-an liter. Padahal harga di Entikong lebih rendah dari Malaysia.

Yanto secara nomaden, tinggal di rumah bedeng daruratnya. Hanya dengan konstruksi bambu, dinding kain-kain poster atau baliho. Tetapi di dalamnya sangat komplit. Ada TV 21inc, dvd player, antena parabola, dan mini-genzet untuk semua kebutuhan itu. Ada juga kompor gas, dan beberapa dvd karaoke.

Peladang berpindah, memang pekerjaan yang menjanjikan. Kalau hasil baik, dari ladang pulut misalnya, dalam setahun dan sekali tebas, ia bisa mendapat sedikitnya Rp 200 juta. Untuk sahang dan lada hitam, akan jauh lebih tinggi lagi.

"Punya keluarga?" saya bertanya padanya.

Yanto menggeleng. Sudah 20 tahun ia hidup sendiri, dan sepanjang itu pula ia tinggal di tengah hutan, atau di pinggir sungai.

"Kenapa tidak tinggal di kota saja, dengan pendapatan sebesar itu?"

Yanto hanya menggeleng, dengan sesungging senyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun