Mohon tunggu...
Sunardian Wirodono
Sunardian Wirodono Mohon Tunggu... profesional -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Setahun Jokowi & Hari Kebencian Nasional

22 Oktober 2015   10:44 Diperbarui: 22 Oktober 2015   10:44 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi mendeklarasikan Hari Santri Nasional hari ini (22/10). Muhammadiyah protes, karena hari santri akan memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa. Mungkin karena hari santri dinilai terlalu NU. Coba kalau Jokowi mendeklarasikan Hari Muhammadiyah Nasional, mungkin persatuan dan kesatuan bangsa akan sangat amat utuh sekali.

Biasalah, kalau ada yang bisa kita ributkan, mengapa kita diamkan, untuk hal yang sebenarnya juga nggak prioritas banget. Di Indonesia begitu banyak hari-hari peringatan. Dalam ‘Almanak Antara 1976’, ada sekitar 78 hari penting nasional, untuk memperingati ini dan itu. Ada Hari Makanan Nasional, Hari Meteorologi, Hari Persatoean Sepakbola, Hari Jalasenastri, Hari Brimob, Hari Artileri, dan lain sebagainya. Maka bisa dibayangkan, 39 tahun kemudian, pastilah hari peringatan dan hari penting nasional Indonesia mencapai ombyokan, ratusan.

Sesungguhnya, Harkebenas (Hari Kebencian Nasional) juga layak diajukan sebagai hal penting untuk diperingati. Indonesia mempunyai tradisi kebencian secara massal atau pun nasional. Misalnya benci PKI, secara nasional, gegara itu musuh bersama. Benci syiah, secara nasional, gegara beda keyakinan itu haram. Benci kafir, secara nasional, gegara dagangan sorga harus habis tandas dibeli melalui tiket yang dijualnya. Benci Jokowi, secara nasional, gegara pujaan hati gagal jadi presiden.

Cukup lama sudah, setengah abad lebih, kita dilatih untuk melihat segala sesuatu hitam-putih, benar-salah, dan semua mesti mutlak-mutlakan. Tak ada abu-abu. PKI mutlak, kafir mutlak. Bener mutlak, salah mutlak (maksudnya; aku bener mutlak kamu salah mutlak).

Kebencian nasional, agaknya telah menjadi kekuatan nasional kita, untuk membuat kita survive. Bahkan pada kenyataannya, soal benci-membenci kini bisa berkembang menjadi profesi. Bukan hanya persoalan emosi, melainkan juga ada perputaran uang di dalamnya. Sebagaimana kemarin, demo yang maunya menurunkan 20 juta massa, ngampret hanya menjadi 50 orang. Gegara pemasok dana demo mangkir.

Harkebenas, tentu punya akar sejarahnya. Dan bukankah sejarah boleh ditulis dengan semena-mena, sebagaimana cinta atau benci? Ini jaman merdeka. Siapa boleh mengatakan apa, di mana pun dan kapan pun. Di situ kebohongan bisa menjadi kebenaran, atau sebaliknya. Media, terutama media online, penuh dengan tulisan dan berbagai berita miring, dan bahkan yang hoax atau pun fitnah menjadi santapan keseharian.

Jika nanti musim kering habis, kebakaran hutan usai, isyu apalagi yang mesti digemborkan? Para pembenci kreatif tentu tak akan kehabisan ide, karena sebentar lagi musim penghujan datang. Banjir akan muncul di mana-mana. Dan bencana banjir pun bisa menjadi bisnis baru.

Kita tak bisa membedakan, atau bahkan mencampur-adukkan antara fakta dan tafsir. Fakta ditafsir masih terlihat mending, tetapi tafsir dijadikan fakta material, memang baru di Indonesia. Dan selebihnya adalah eyel-eyelan.

“Bagi beberapa orang, berpikiran negatif merupakan kebiasaan, yang sejalan dengan berlalunya waktu akan berubah menjadi sebuah kecanduan. Seperti penyakit, kecanduan alkohol, berlebihan makan, atau kecanduan obat terlarang. Banyak orang yang menderita akibat penyakit ini,” seperti kata Peter McWilliams; karena berpikiran negatif merusak jiwa, tubuh, dan perasaan.

Ngomdolah dengan gotong-royong, yang digambarkan sebagai “pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama,” sebagaimana pidato Sukarno di depan BUPKI 1 Juni 1945, tentang apa itu; “Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!”

Bukan hanya sejak 20 Oktober setahun lalu kebencian itu meruyak. Tetapi bisa jadi sejak 17 Agustus 1945, kita juga belum pernah mempraktikkan banting tulang bersama ini. Kita hanya mewarisi teladan yang tak ada. Dari orangtua yang eker-ekeran mulu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun