Aktivitas depan panggung (front stage)Â itu pulalah yang akhirnya melahirkan selebriti-selebriti politik yang bisa disebut sebagai SelebTik.Â
Ironinya, dalam beberapa tahun terakhir ini berbagai media massa baik luring maupun daring lewat acara atau programnya, seperti talk show, podcast, dialog, diskusi atau apa pun ikut melahirkan SelebTik-SelebTik yang apabila dilihat dan diamati kehidupan belakang panggungnya (back stage)Â sangat berbeda dengan apa yang dicitrakan di depan panggung (front stage).
Perkara itu pulalah yang mulai terbuka di ruang-ruang digital publik tentang apa yang mereka perankan di panggung depan (konten-konten) sangat tidak sesuai dengan apa yang terbaca di panggung belakang (kehidupan nyata), yang pada akhirnya pecah dan menimbulkan perlawanan rakyat dalam konteks demo di DPR.Â
Artinya, panggung-panggung depan yang telah mereka bangun sejauh ini mulai memperlihatkan panggung belakangnya (aslinya). Sehingga kini, rakyat sudah mulai bisa membaca dramaturgi yang mereka pertontonkan. Masihkah kita mau percaya pada SelebTik-SelebTik ini?Â
Seperti kita ketahui dan sudah menjadi rahasia umum bahwa kader-kader politik di hampir semua partai sekarang tidak semua dibentuk melalui proses kaderisasi berdasar meritokrasi, melainkan hampir pasti melalui cara karbitan. Diusung hanya karena kelas sosialnya, hartanya ataupun popularitasnya.
Maka ketika bekerja, mereka sangat cenderung mengedepankan pesona atribut atau simbol-simbol dan kelebihan yang dimilikinya dibanding menggunakan ilmu, keahlian, keterampilan atau prestasi politiknya. Memakai kuasanya untuk membentuk citra diri seolah sebagai dewa penolong rakyat, tapi melakukannya dengan emosional, arogansi, tekanan, intimidasi atau glorifikasi, yang disiarkan melalui platform digital dan media sosial.
Pada akhirnya, gejolak sosial yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia dalam seminggu terakhir lewat demo di DPR-DPR secara serentak seharusnya menjadi pengalaman dan pelajaran, agar ke depan para pejabat politik bisa membedakan sikap dan perilakunya antara belakang panggung dan di depan panggung.Â
Sedangkan bagi partai-partai, sudah saatnya mengembalikan proses meritokrasi dalam merekrut kader-kader partainya. Tidak lagi merekrut anggota dengan cara karbitan. Karena masyarakat membutuhkan politikus-politikus yang mumpuni, berkompetensi dan ahli untuk memajukan demokrasi. Membutuhkan politikus-politikus yang negarawan. Bukan politikus-politikus yang hanya membangun citra di panggung depan atau SelebTik. Â Â Â Â
Referensi
https://www.tempo.co/hukum/kronologi-ott-kpk-wamenaker-immanuel-ebenezer-2062380