Setelah OTT KPK dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap perusahaan dalam pengurusan sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan, jejak digital Noel Ebenezer dikuliti oleh netizen.Â
Jejak Noel Ebenezer di ruang-ruang digital dikenal sebagai figur vokal. Dia pernah mengumbar janji manis Lewat gaya komunikasi yang lugas dan frontal, sempat membangun citra sebagai pembela pekerja kecil. Ia turun langsung ke lapangan, menggulirkan janji, bahkan menggertak korporasi.
Berderet manuver yang pernah dilakukan oleh Noel Ebenezer mulai dari janji muluk ke buruh Sritex, sidak penahanan ijazah, kritik keras terhadap THR minim pengemudi ojol, hingga dorongan menghapus batas usia kerja, termasuk vokal tentang tuntutan hukuman mati bagi koruptor lengkap dengan usulan pakta integritasnya.Â
Sementara fakta akhirnya justru berbalik, jejak digital Noel Ebenezer ternyata akan meninggalkan jejak paradoks. Dia akan menjadi sosok yang dituntut tidak hanya bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya, tetapi juga dituntut untuk bisa membuktikan ucapannya tentang hukuman mati bagi koruptor.
Peristiwa ini barangkali akan mengingatkan kita ke peristiwa beberapa tahun silam saat seorang pejabat publik yang terafiliasi dengan politik dan tersandung kasus korupsi, mengatakan, "Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja ... korupsi di Hambalang, gantung ... di Monas," ujar pejabat politik tersebut. Apakah terbukti?
Peristiwa semacam itu bukan tentang pembuktian yang bisa saja dibantah bahkan meskipun proses hukum telah menyatakan inkrah. Bukankah salah satu kasus inkrah tanpa eksekusi di kalangan pejabat publik terbukti ada? Hebatnya bahkan dalam status terpidana, tokoh ini menerima jabatan tinggi. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Ada konsep sosiologis yang dikembangkan oleh Erving Goffman, seorang ahli sosiologi ternama. Lewat karyanya yang berjudul "The Presentation of Self in Everyday Life", Goffman memaparkan sebuah teori yang mengarah pada pendekatan dramaturgi.Â
Analogi teater dalam teori dramaturgi yang menjelaskan bagaimana setiap individu dapat memainkan peran berbeda dalam interaksi sosial, bagi para politikus drama ini kini seolah memiliki media yang tepat di dunia digital. Â
Seperti dalam pertunjukan teater, ketika tiap individu berperan dan berdialog berdasarkan skenario tertentu dan berinteraksi dengan orang lain dalam sebuah lakon, dengan tujuan mengelola kesan dan citra diri mereka kepada orang lain, hal inilah yang sekarang banyak dilakukan oleh pejabat publik di ruang-ruang digital, mencitrakan diri sebagai pejabat yang baik, penolong rakyat, unjuk diri, unjuk gigi, unjuk kerja, termasuk pamer harta sehingga jauh lebih ngartis dari artis sesungguhnya.
Namun faktanya, apa yang disajikan di ruang-ruang digital hanyalah simbolisasi  atau atribut yang digunakan untuk menyampaikan pesan tentang apa yang ingin mereka citrakan.
Termasuk pakaian, aksesori, bahasa, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh untuk melakukan impression management (manajemen kesan). Sebuah upaya untuk mengontrol bagaimana orang lain memandang mereka dari depan panggung (front stage) melalui konten-konten.Â